Minggu, 26 Juli 2009

quraish shihab

PROF.DR.QURAIH SHIHAB ; MEMBUMIKAN AL-QUR’AN
A.LATAR BELAKANG MASALAH.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.( Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran," disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988, h. 182-183.)

Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
(a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
(b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka.
(c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
(d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
(e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
(f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.
Disamping itu, perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan)nya, hal ini dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani Al-Qur'an.
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf. Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan, dan Prof.Dr.M. Quraish Shihab di Indonesia. ( Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan).
Prof.Dr.M.Quraish Shihab adalah ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang dikenal ahli di bidang Al-qur’an, yang mampu menterjemahkan dan menyajikankan al-qur’an dalam konteks masa kini dan masa depan.
B.PERMSALAHAN.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diajukan beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Bagaimana biografi Prof Dr.M.Quraish Shihab.
2. Bagaimana corak pemikiran dan metodologi tafsir Quraih Shihab
3. Bagaimana pandangan Quraish Shihab tentang wawasan epistimologi al-Qur’an.
B. PEMBAHASAN
1. BIOGRAFI SINGKAT QURAISH SHIHAB
Prof.Dr.M.Quraish shihab (Lahir Rappang, sulawisi selatan, 16 februari 1944), adalah putra Prof. KH Abdurrahman shihab, seorang ulama dan guru besar di bidang tafsir. Abdurrahman shihab di pandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya di dunia pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Makassar (dulu: Ujung Pandang), yaitu *Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar dikawasan indosesia timur, dan IAIN Alauddin di Makassar. Ia juga tercatat sebagi mantan rektor pada perguruan tinggi tersebut. UMI (1959-1965) dan IAIN Alauddin (1972-1977).
Quraish memdapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anaknya duduk bersama. Pada saat itulah sang ayah menyampaikan nasihat yang kebanyakan berupa ayat Al-Qur’an
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Makassar. Setelah itu ia melanjutkan studi disekolah lanjutan tinggi pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al- falaqiyah di kota yang sama. Untuk lebih mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima dikelas dua tsanawiyah. Kemudian ia melanjutkan studi ke Universitas al-azhar pada fakultas Ushuluddin jurusan tafsir dan hadis. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S-1). Dua tahun kemudian (1969) Quraish berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-Ijaz at-Tasyi’I li al-qur’an al- karim (kemukjizatan Al- qur’an al-karim dari segi Hukum).
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor untuk membantu mengelola pendidikan IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis adan kemahasiswaan sampai 1980. Disamping memduduki jambatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur dalam menjalankan tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator perguruan tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur. Dan pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dibidang pembinaan mental. Di celah-celah kesibukannya ia merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan masalah Wakaf di Sulawisi selatan”(1978)
Untuk mewujutkan cita-citanya mandalami studi tafsir, pada 1980 Quraish kembali menuntut ilmu ke almameternya, al-Azhar dengan mengambil spesialisasi studi tafsir al-qur’an. Ia hanya membutuhkan waktu 2 tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-biqa’i Tahqiq wa dirasah ( kajian kitab Nazm ad-Durar (Rangkaian Mutiara) karya al-Biqa’i berhasil dipertahankan dengan pridikat summa cum laude dan memperoleh penghargaan mumtaz ma’a martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Setelah pulang ke tanah air, Quraish kembali mengabdi di tempat tugasnya semula, IAIN Alauddin Makassar. Namun, 2 tahun kemudian (1984) ia ditarik ke Jakarta sebagai dosen pada fakultas Ushuluddin dan program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.Karena keahliannya dalanm bidang kajian Al-Qur’an Quraish tidak memerlukan waktu lama untuk dikenal di kalangan masyarakat intelektual Indonesia. Dalam waktu singkat ia segera dilibatkan dalam berbagi forum nasional antara lain menjadi ketua *majlis Ulama Indonesia (MUI,1984), anggota *Lajnah pentashih Mushaf Al-qur’an Departemen Agama(1989) dan anggota badan pertimbangan pendidikan nasional (1989). Selain itu juga aktif di berbagai organisasi, seperti organisasi penghimpunan ilmu-ilmu syariat, konsorsium ilmu-ilmu agama Depdikbud, dan *ikatan Cendekiawan Muslim se-indonesia (ICMI). Disamping itu ia tetap memberikan ceramah keagamaan dalam berbagai forum dan menghadiri berbagai kegiatan ilmiah, baik didalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1993 pemerintah mempercayakan untuk mengemban tugas sebagi rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu ia juga menjadi direktur pendidikan Kader Ulama (KPU), yang merupakan salah satu usaha MUI untuk membina kader ulama di tanah air. Quraish juga pernah memangku jabatan menteri Agama RI pada Kabinet Pembangunan VII (1997-1998). Ia kemudian diangkat pemerintah RI menjadi duta besar RI untuk Mesir (1999-2003). Selanjutnya ia kembali ke UIN Jakarta sebagai guru besar.
Di bidang intelektual, kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya. Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubric “Pelita Hati” dalam surat kabar Pelita, dan pada rubric “Hikmah” dalam surat kabar Republika, adapun yang berupa urutan tafsir muncul pada rubrik “tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Tafsir al-Amanah Jilid I. sejumlah makalah dan ceramah tertulisnya sejak 1975 dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk dua buah buku dengan judul “Membumikan Al-Quran” (Mizan, 1992) dan Lentera Hati (Mizan, 1994). Karya lainya ialah Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Makassar: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir al-Fatih [Jakarta: Untagma, 1988]), Wawasan al-Quran (1996), Mengungkap Lentera Hati (Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Quran [1998]), Mukjizat Al-Quran Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1998), dan Tafsir al-Misbah yang terdiri dari 15 Jilid diterbitkan oleh Lentera Hati.
Secara umum gagasan Quraish Shihab yang terekam dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”, terdiri dari dua bagian pokok bahasan, yakni [1] gagasan sekitar khasanah al-Qur’an sebagai kitab suci dan penafsirannya, [2] gagasan tentang pembumian nilai-nilai al-qur’an dalam dunia emphirik.
3.CORAK PEMIKIRAN DAN METODOLOGI TAFSIR M. QURAISH SHIHAB
M.Quraish Shihab mengawali gagasannya dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman Allah di dalam al-Qur’an kepada manusia yang ditafsirkan sesuai lingkungan budaya, kondisi sosial, dan perkambangan ilmu pengetahuan,serta keagungan firman Allah yang dapat menampung segala kemampuan, tingkat kecederungan, dan kondisi sosial dan peradaban yang berbeda-beda.
Seorang mufassir menurutnya di tuntut untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Quran dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dan bathil serta jalan keluar bagi setiap probelam kehidupan yang dihadapi, Mufassir dituntut pula untuk menghapus kesalahpahaman terhadap al-Qur’an atau kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
M. Qurish Shihab membangun bagan penafsirannya dengan mencermati dan mengkritisi argumentasi kaum Orientalis dan juga merujuk tokoh-tokoh ulama tafsir, seperti:Fakhruddin ar-Razi (606 H/1210 M). Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I (809-885 H/1406-1480 M), Badruddin Muhammad ibn Abdullah Az-Zarkasyi (w 794 H) dan lain-lain yang menekuni ilmu Munasabat (keserasian hubungan bagian-bagian)al-Qur’an. Quraish Shihab mengemukakan bahkan membuktikan keserasian di maksud, paling tidak dalam 6 hal:
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.
b. Keserasian kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya
d. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya
e. Keserasian penutup surah dengan uraian surah sesudahnya
f. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Berikut ini beberapa contoh penafsiran penafsiran dalam kitab tafsir al-Misbah:
a. Keserasian ayat dengan ayat.
Tafsir surah al- Baqarah ayat 63.
               

Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 63)
Ayat ini berbicara tentang peristiwa yang mereka alami ketika menolak melaksanakan kandungan kitab suci taurat. Ketika itu, Allah memerintahkan malaikat mengangkat gunung Thursina ke atas kepala mereka.
Tafsir surah al-A’raf ayat 7
     •  
Artinya:
Maka Sesungguhnya akan kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang Telah mereka perbuat), sedang (kami) mengetahui (keadaan mereka), dan kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al-A’raf: 7)
Tafsir surah al-Baqarah ayat 93
                             
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". dan Telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi Karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat[74] perbuatan yang Telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. (QS. Al-Baqarah: 93).

b. Munasabah akhir surah dengan awal surah
Surah an-Naba ayat 40
               
Artinya:
“Sesungguhnya kami Telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang Telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah". (QS. An-Naba: 40).
Akhir suran an-Naba ini menguraikan tentang keinginan orang-orang kafir untuk tidak wujud sebagai manusia tetapi sebagai tanah atau tidak dibangkitkan dari kubur dan tetap berada di sana menyatu dengan tanah.

Surah an-Naziat 1
•  
Artinya:
“Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras”,
Awal surah an-Naziat ini menguraikan tetnang malaikat-malaikat yang mencabut nyawa manusia baik yang mukmin atau yang kafir
c. Munasabah uraian awal satu surah dengan penutupnya
Surah al-Mursalat ini diuraikan sebagai informasi tentang pengingkaran kaum musyrikin terhadap keniscayaan kiamat dan karena itu mereka wajar mendapat kecelakaan yang berlipat ganda.
Akhir surah al-Mursalat di akhiri dengan pertanyaan bahwa kalau mereka tidak mempercayai informasi al-Quran maka tidak lagi selainnya yang dapat mereka percayai.
Ternyata mereka tetap berkeras meragukan dan menolak bahkan saling membicarakan hal tersebut baik dengan tujuan mengejek atau senda gurau atau menampakkan kemustahilannya.
Awal surah al-Naziat 1-5
•   •           
Artinya:
1. Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
2. Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
3. Dan (Malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
4. Dan (Malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang,
5. Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)
Karena itulah awal surah ini mengajukan pertanyaan yang tujuannya adalah menampakkan kebenaran atas sikap mereka, serta memperingatkan dan mengancam mereka.
M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya menggunakan metode tafsir maudhui (tematik) yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Quran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat tersebut, dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini pendapat al-Quran tentang berbagai masalah kehidupan dapat diungkap sekaligus dan dapat di jadikan bukti bahwa ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyrakat.
Metode maudu’i ini memiliki beberapa keistimewaan antara lain:
a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain yang di gambarkan.
b. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits nabi satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.
c. Dapat membuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Quran bukan bersifat teoritis semata-mata. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Quran sebagai kitab suci.
d. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Salah satu contoh penafsiran M. Quraish Shihab dengan metode maudhuiy, pada surah al-Baqarah (2) ayat 76-77.
     •                   
  •       

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata:" kamipun Telah beriman," tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: "Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang Telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Tuhanmu; Tidakkah kamu mengerti?". Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?(QS. Al-Baqarah: 76-77)
Bukti lain tentang ketidakwajaran mengharap terlalu banyak kepada mereka ( Orang-orang yahudi ) bagi mereka yang beriman dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. adalah apa yang dikemukakan oleh ayat ini yaitu yang dimulai dengan kata Dan.
Ayat ini menguraikan bahwa sebagian mereka yang mengaku memeluk Islam, sebenarnya hanya berpura-pura. Hanya di hadapan umat Islam mereka mengaku beriman. Tetapi apabila mereka menyendiri satu dengan yang lain tanpa disaksikan oleh seorang mukmin, ada di antara orang-orang Yahudi yang tetap disaksikan oleh seorang mukmin, ada di antara orang-orang Yahudi yang tetap menganut kepercayaan mereka yang menegur dan mengecam orang-orang Yahudi yang masuk Islam dengan berkata secara sembunyi-sembunyi: “Apakah kamu menceritakan kepada merka, yakni kaum muslim, apa yang telah diterangkan Allah kepada kamu?” Yakni mengapa kalian menyampaikan bahwa dalam kitab Taurat disebutkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. ini tidak wajar, lanjut yang mengecam itu. Karena dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjah kamu dihadapan Tuhan kamu. Maksudnya, penyampaian hakikat itu memperkuat posisi umat Islam menghadapi orang-orang Yahudi.
Ayat ini juga dapat berarti bahwa orang-orang Yahudi yang mempertahankan keyakinan agamanya berkata kepada yang berpura-pura memeluk Islam: “Apakah kalian menyampaikan kepada orang-orang Islam sesuatu yang akan membuka kedok serta mempermalukan kamu kelak di hari kemudian di hadapan Tuhan. Karena ketika itu, kaum muslim akan berkata kepada kamu, “Bukankah kalian telah menyampaikan kepada kami apa yang terdapat dalam kitab suci Taurat tentang hakikat ajaran Islam dan kebenaran Nabi kami?” ini akan menambah malu kalian di hari kemudian. Karena, tidak sama yang mengakui kebenaran lalu menutup-nutupinya (menjadi munafik) dengan yang tidak mengakuinya walaupun dia mengetahui. Maksudnya, ia munafik berbohong dua kali; sekali berpura-pura masuk Islam, dan di kali lain tahu kebenaran tetapi tidak sepenuh hati menerimanya. Tidakkah kamu berakal? Yakni tidak adakah pengetahuan yang kamu miliki yang dapat menghalangi kamu mengucapkan sesuatu yang dapat memperkuat posisi kaum muslimin dan mempermalukan kamu kelak di sisi Allah?
Demikian kecaman mereka. Allah balik mengecam, karena seakan-akan mereka tidak sadar bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman menyangkut orang-orang Yahudi itu: “Tidakkkah mereka mengetahui, baik mereka yang munafik maupun yang secara tegas menolak beriman, bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan? Yakni, apa yang mereka rahasiakan dengan apa yang mereka nyatakan, sama-sama dalam pengetahuan Allah. Keduanya jelas dan sama tingkat kejelasannya di sisi Allah.
Rahasia adalah apa yang Anda tidak bisikkan kepada orang lain. Ia adalah yang Anda ketahui tetapi Anda tidak ingin diketahi orang lain. Adapun yang nyata adalah apa yang diketahui orang lain atau Anda tidak keberatan bika diketahui orang lain. Ayat ini menyatkan bahwa Allah mengetahui yang dirahasiakan dan mengetahhui juga apa yang dinyatakan. Di tempat lain, Allah menembahkan juga yang lebih rahasia (QS. Thaha[20]: 7). Yakni bahwa selain yang disebutkan di atas Allah swt. juga mengetahui apa yang berada di bawah sadar manusia dan sudah dilupakannya dan atau yang belum dikerjakan dan akan dirahasiakannya.
3. WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG EPISTIMOLOGI.
Dalam pandangan Quraih Shihab, kendati bahasan menyangkut Epistimologi merupakan bahasan filsafat, namun dalam AI-Qur'an dapat ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang mas'alah-mas'alah yang menjadi pokok bahasan fiIsafat, walau bukan dengan istilah-istilah yang digunakan para Philosof.
Para pakar menyatakan bahwa epistimologi terambil dari kata Yunani kuno epistime yakni berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tersebut diartikan sebagai satu bagian dari bahasan filsafat yang membahas dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Pakar-pakar agama Islam berbahasa Arab menerjemahkannya dengan Nazhariyat al-Ma'rifah. Mereka tidak menamainya Nazhariyat AI-'Ilm karena 'Ilm (ilmu) berbeda dengan Ma'rifah. Ilmu dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami kekaburan, sedang kata ma'rifat boleh jadi disertai kekaburan karena itu pula Allah tidak menyandang sifat ma'rifat. Dia tidak dinamai 'Arif tetapi ‘Alim (Maha Mengetahui,) yang pengetahuan-Nya tidak didahului oleh ketidak tahuan, tidak juga disentuh oleh kekaburan, berbeda dengan manusia ketika menyandang sifat ‘Arif. Penggunaan istilah Nazariaya l-Ma'rifah disamping mengisyaratkan bahwa bahasan ini dalam pandangan agamawan berkaitan dengan pengetahuan manusia bukan pengetahuan Allah, juga untuk membedakan secara dini pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia.
Beragam uraian para pakar tentang persoalan yang dibahas oleh epistemologi, namun agaknya Quraish Shihab mengambil beberapa hal pokok saja yang terkait dengan epistimologi menjadi bahasannya, antara lain:
a.wujud dalam pandangan al-quran.
Sekian banyak ayat yang menganjurkan untuk menggunakan mata, dan telinga. Ini bukti bahwa yang diperintahkan untuk dilihat dan didengar itu adalah sesuatu yang wujud. Al-Qur'an juga menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan menjadikan pengalarnan sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Karena itu kita dapat berkata bahwa dalam pandangan Al-Qur'an wujud yang yang diinformasikan oleh panca indra - selama dalam wilayah kerjanya -dapat diandalakan dan bahwa apa yang dijangkaunya adalah satu kenyataan. Ini selama indra itu tidak mengalami gangguan dari dalam dan luar dirinya. Selanjutnya Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalamya dalarn menimbang ide yang masuk kedalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hat ini dan dengan berbagai redaksi seperti tsa'qilun, tatafakkarun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran,- juga selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya. Bahkan AI-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa : Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S. An-Nahl [16]: 78.
Pada ayat diatas, disebutkan disamping mata dan telinga, juga hati. Karena itu – dalam pandangan AI-Qur'an - mengandalkan indra dan akal saja untuk meraih pengetahuan ataumengandalkan keduanya saja untuk menetapkan yang maujud tidaklah cukup, akibat keterbatasan-keterbatasan kedua alat pengetahuan itu. AI Qur'an menginformasikan bahwa ada wujud yang tidak terjangaku oleh indra dan nalar. Allah berfirman sambil bersumpah Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat (dengan mata kepala atau dan mata hati) serta apa yang kamu tidak lihat (Q.S. AI-Haqah [69]:38-39).
Sebenarnya sementara philisof sudah menggaris bawahi ketebatasan akal dan ketidak mampuannya untuk menjangkau metafisika. Emanuel Kant ( 1724-1804 M) misalnya yang dinilai sebagai salah seorang tokoh utama rasionalisme menyatakan bahwa soal-soal metafisika bukanlah wilayah garapan akal. Wujud Tuhan, kehadiran ruh, - menurutnya – tidak bisa dituntaskan dengan bukti -bukti rasional.
Wujud ada yang hidup ada juga yang tidak hidup. Begitu secara umum logika kita berkata…”karena hidup dalam pengertian umum ditandai oleh gerak tubuh atau rasa. Tetapi dari AI-Qur'an difahami bahwa ada wujud yang selama ini dikatagorikan sebagai tidak hidup, tetapi sebenarnya ia hidup. Bahkan seluruh wujud dalam pandangan kitab suci itu hidup, kendati panca indara dan nalar kita tidak menjangkau makna hidupnya. Bumi seringkali dilukiskan sebagai dihidupkan Allah setelah kematiannya, (Q.S. AI-Baqarah [2]: 164), petir memuji Tuhan ( Q.S. Arra'ed [13]:13 ), gunung-gunung pun bertasbih, memenuhi perintah Allah agar mengulang-ulangi tasbih nabi Daud ( Q.S.Saba' [34]:10) bahkan segala sesuatu bertasbih memuji Allah tetapi hakikat semua itu tidak dapat dijangkau oleh nalar. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun". (Q.S. AI-Isra' [17]:44).
Memang kita dapat memahami kata hidup, dalam ayat-ayat diatas dalam pengertian metafore atau bahwa ia berarti berfungsinya sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya, bertasbih dan memuji pun dapat diartikan dengan pola tersebut, tetapi penekanan ayat diatas bahwa "tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka" bukan saja mengisyaratkan keterbatasan akal tetapi juga bahwa ada substasi wujud yang tidak terjangkau oleh indra dan nalar manusia.
Sikap nabi Muhammad saw berkaitan dengan benda-benda yang kita namai : "benda mati" juga menunjukkan bahwa benda tersebut hidup dan merasa. Beliau misalnya bersabda: "Bukit Uhud mencintai kita dan kita pun mencintainya." Benda-benda yang "tak bemyawa " beliau beri nama seperti pedang beliau dinamai Dzul Fiqar, gelas minum beliau As-Shadir, cemin beliau Aimidallah dan masih banyak lainnya. lni mengandung arti bahwa benda-benda itu memiliki "personality" yang merasa atau paling tidak membutuhkan persahabatan dan kasih sayang.
Sementara pakar AI-Qur'an menggaris bawahi Q.S. an-Nisa' [4] 10 “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, mereka itu tidak lain kecuali memakan (menelan) api dalam perut mereka, dan nanti mereka akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka). Dalam ayat ini disebut dua hal yang berkaitan dengan tindakan memakan harta anak yatim secara aniya. Yang pertama, ya’kulu buthunihim nara yakni menggunakan fi'il mudhari' (kata kerja masa kini /present tense) sedang yang kedua, wa sayaslu na sa’ira juga menggunakan kata kerja yang sama hanya saja dibarengi dengan huruf sin yang digunakan menunjuk masa datang. Perbedaan redaksi tersebut oleh sementara pakar dijadikan sebagai isyarat bahwa mereka yang memakan harta anak yatim secara aniya sejak sekarang telah memakan api, - kendati kita tidak melihatnya - dan nanti di hari kemudian mereka akan masuk ke neraka.
b.hakikat pengetahuan.
Gambaran yang dikemukakan oleh para philosof tentang makna pengetahuan sungguh beragam. Filosof Islam Ibnu Maskawaih menulis bahwa "pengetahuan" adalah “Diserapnya oleh jiwa forma sesuatu yang wujud sesuai dengan hakikatnya." Yang dimaksud dengan form adalah lawan dari bentuk matrial sesuatu. Bentuk matrial kursi adalah sesuatu yang terbuat dari bahan-bahan tertentu seperti kayu atau besi dan yang berfungsi sebagai tempat duduk, sedang formanya adalah gambaran dari kursi yang masuk dalam benak. Tentu saja yang masuk ke dalam benak bukan kayu atau besi itu. Ada juga yang menggambarkan pengetahuan sebagai "Hadir atau terserapnya maujud non matrial dalam maujud non matrial lainnya" atau " Hadimya sesuatu, atau bentuk partikulamya atau konsep umurnnya pada maujud mujarrad." Filosof lain mengartikannya sebagai "Keyakinan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan."
Pengetahuan/Ilmu menurut mereka adalah lawan dari kebodohan sederhana ( ketidak tahuan subjek terhadap objek) dan juga lawan dari kebodohan berganda yakni kebodohan sederhana plus dugaan subjek bahwa ia mengetahui objek padahal ia tidak mengetahuinya. Apapun gambaran yang diberikan para pakar tentang makna pengetahuan, namun salah satu hal penting -dalam pandangan Islam- tentang makna pengetahuan, yang perlu digaris bawahi yaitu bahwa ia tidak selalu harus diperhadapkan dengan kebodohan. Jika ada mas'alah yang demikian sulit, lalu Anda sadari bahwa Anda tidak dapat menjangkaunya dan berkata "Saya tidak tahu" maka ucapan Anda itu menunjukkan pengetahuan Anda tentang masalah tersebut yakni bahwa ia demikian sulit dan tidak terjangkau. Ketika itu, yakni ketika Anda berkata "Saya tidak tahu" maka Anda memiliki pengetahuan melebihi pengetahuan siapa yang berusaha menjawabnya padahal pada akhimya dia tidak mampu menjawab. Karena itu AI-Qur'an pun mengajar kepada Nabi Muhammad saw untuk berkata "Saya tidak tahu " menyangkut hal-hal yang berada diluar kemampuan beliau - seperti ketika ada yang mengajukan pertanyaan tentang ruh, (Q.S. Al-Isra' [17]:85) dan Allah pun memerintahkan beliau untuk berdoa" Wahai Tuhan tambahlah untukku pengetahuan"( Q.S.Thaha[ 20]:1 14. Ketika Sayyidina Abubakar r.a. ditanyai " Bagaimana Engkau mengenal Tuhan?" Beliau menjawab : Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan, Seandainya tanpa Tuhan Aku tentu tidak mengenal Tuhan" Si Penanya lebih lanjut bertanya : "Bagaimana Engkau mengenal-Nya?" Beliau menjawab:(Kesadaran akan ketidak mampuan menjangkau' sesuatu merupakan pengetahuan" Dari sini kita dapat berkata bahwa ada jenis pengetahuan yang justeru adalah ketidak tahuan." Itu salah satu sebab sehingga dalam literature agama ditemukan ungkapan yang menyatakan : "Ucapan saya tak tahu adalah setengah pengetahuan" dan itu pula sebabnya bibir dan karya tulis para ulama Islam selalu dihiasi oleh kalimat Allah A'lam .
c.kebenaran pengetahuan.
Sementara pakar berpendapat bahwa pengetahuan yang diraih seseorang terdiri dari dua jenis. Pertama yang secara langsung menukik tanpa perantara. Ini seperti pengetahuan seseorang tentang dirinya. Sedang yang kedua adalah pengetahuan yang diraih melalui perantara, katakanlah bentuk badan dan wama kulit seseorang. Dua hal ini diketahuinya melalui perantara matanya. Yang pertama dinilai sebagai pengetahuan yang tidak disentuh oleh kesalahan. Sedang yang kedua yang bersifat perolehan itu mengandung kemungkinan salah.
Para rasionalis berpendapat bahwa tolok ukur mengenali kebenaran adalah watak dasar atau Fithrah akal ( Fithrat AI-' Aqel). Sedang para empirisis berpendapat bahwa tolok ukur kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya untuk dibuktikan melalui pengalaman bahkan sebagian berkata pengalaman praktis.
Kedua hal diatas tidak sepenuhnya diterima oleh ilmuan muslim. Tolok ukur pengalaman tidak dapat digunakan kecuali dalam kaitan dengan benda-benda kasat mata, bukan dalam soal-soal matematika dan akal murni. Disisi lain karena hasil pengalaman itu tentulah harus diketahui melalui pengetahuan yang bersifat perolehan, sedang sarana perolehan itu tidak dapat dijamin kebenarannya, maka hasil yang diduga sepenuhnya benar itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Ia hanya bersifat individual sehingga subjektivitasnya amat tinggi bahkan bisa jadi lahir kesimpulan yang diambil dari pandangan-pandangan keliru yang diduga benar, apalagi ia dihidangkan oleh si pemikir tanpa argumentasi atau pengkoordinasiaan. Al-Qur'an menginformasikan bahwa : Setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Q.s. AI-An'am [6]:112).
Di banyak tempat dalam AI-Qur'an ditegaskan bahwa Allah dan juga malaikat mengukuhkan hati orang beriman (Baca a.l. Q.s. , AI-Anfal [8]:12 dan Q.S. Ibrahim 14 : 27) karena itu menurut bahasa Nabi Muhammad saw, apa yang muncul dari dalam diri manusia bisa jadi Lammat malakiyah yakni bisikan malaikat, bisa juga Lammat Sayaithaniyah / bisikan setan. Seseorang memang dapat diliputi oleh subjektivitas yang menjadikan kesimpulannya tidak berdasar yang shahih. Dari sini juga kita dapat berkata bahwa kebenaran yang diperoleh manusia melalui dirinya sendiri - baik perolehan yang menukik tanpa perantara maupun dengan perantara adalah kebenaran nisbi. Kalau perolehan itu disepakati oleh para pakar dalam bidangnya, maka ia menjadi kebenaran ilmiah yang sifatnya tetap nisbi dan bisa jadi temporer.
Al-Qur'an pun mengisyaratkan adanya pengetahuan yang diperoleh tanpa perantara. Tetapi yang ditekankannya adalah yang bersumber dari luar diri manusia. Dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya: Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui(nya) (Q.S. AI-Qalam [96]: 4-5
Dalam Tafsir AI-Misbah Quraish Shihab antara lain menguraikan bahwa :" Pada kedua ayat diatas terdapat apa yang dinamai Ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat empat kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat lima, dan pada ayat lima kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat empat telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat diatas dapat berati "Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya." Kalimat "yang telah diketahui sebelumnya" disisipkan karena isyarat pada susunan kedua yaitu "yang belum/tidak diketahui sebelurnnya". sedang kalimat "tanpa pena" ditambahkan karena adanya kata "dengan pena"dalam susunan pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan "telah diketahui sebelumnya"adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan.
Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt. dalam mengajar manusia. Pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny.
Kebenaran Ilm Ladunny melebihi kebenaran hasil penalaran. lni diuraikan oleh AI-Qur'an melalui kisah Nabi Musa as bersama seorang yang dianugerahi Allah llm Ladunny. Nabi Musa as yang demikian cerdas, dan kritis yang tentunya menimbang segala sesuatu dengan sangat cermat, telah dinilai keliru, padahal Siapa yang menggunakan nalamya pasti akan berkata bahwa membocorkan perahu milik orang miskin dan sarana pencarian rezekinya adalah sesuatu yang buruk,... membunuh anak kecil adalah tindakan kriminal,.. membangun bangunan yang hampir rubuh dengan meminta upah adalah sangat wajar dan rational. Tetapi satu persatu dipersalahkan oleh dia yang mendapat llm Aldunny itu guna membuktikan bahwa dibalik phenomena yang dilihat dan dan menjadi bahan pertimbangan Nabi Musa as, masih ada sekian banyak hal yang tersembunyi yang tidak diketahuinya dan yang menuntutnya untuk percaya dan - Ittiba'. (Q.S. al-Kahfi [18]: 60-82).Untuk memperolehnya diperlukan kebersihan hati dan ketaqwaan.
Sementara pakar menjadikan firman-Nya “dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Albaqarah [2] :282) sebagai bukti keterkaitan antara taqwa dengan perolehan pengetahuan. Dalam Q.S. AI-Hadid (57] 28 Allah menegaskan keterkaitan iman dan taqwa dan perolehan cahaya penerang jalan hidup yakni ilmu. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berimanlahn kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian dari rahmat-Nya kepada kamu dan menjadikan buat kamu cahaya (yang menerangi kamu) dalam berjalan. Cahaya yang dimaksud adalah ilmu, karena /lmu adalah cahaya sedang kebodohan adalah kegelapan.
Wahyu-wahyu Ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jiwanya adalah tingkat tertinggi dari bentuk pengajarannya tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Dibawah peringkat wahyu adalah ilham, intuisi dan firasat, dan juga mimpi yang kesemuanya dalam beberapa rinciannya adalah anugerah Tuhan semata, dan tidak dapat diperoleh melalui usaha manusia. (1)
d.pemanfaatan ilmu.
Sejak dini bahkan dalam wahyu pertama Al-Qur' an telah menggaris bawahi bahwa perlunya memanfaatkan ilmu. Ilmu dituntut bukan untuk tujuan mengetahui tetapi untuk diamalkan dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan seluruh makhluk. Firman-Nya Iqra' Bismi rabbika perintah untuk melakukan upaya pencarian pengetahuan demi atas nama dan demi karena Allah..
Karena itulah AI-Qur'an tidak mengenal semboyan “Ilmu untuk Ilmu". Setiap langkah pencarian ilmu, tidak boleh lepas dari tujuan kemaslahatan sebanyak mungkin makhluk. Dari sini juga kita menemukan Nabi Muhammad saw mengajarkan doa yang antara lain menyatakan: Allahumma Inny A'udzu Bika Min 'ilmen La Yanfa' (Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).Sayyidina Ali k. w. yang digelar sebagai Pintu gerbang Ilmu (Bab Madinatil AI-'Ilm) berkata:“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat. Ketahuilah bahwa tidak ada baiknya pengetahuan yang tidak bermanfaat dan tidak tidaklah dapat dimanfaatkan pengetahuan yang tidak wajar dipelajari" Manfaat dimaksud adalah buat diri dan juga buat masyarakat. Dalam literature agama ditemukan juga nasehat berikut : - Sebaik-baik pengetahuan untukmu adalah pengetahuan yang tidak menjadi baik aktivitasi mu kecuali dengannya ...
D.KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Quraish Shihab adalah seorang pakar tafsir dan dan ilmu-ilmu al-qur’an terkemuka di Indonesia. Beliau secara efektif dan efisien dalam menjabarkan metodologi memahami al-Qur’an, dan secara genius merumuskan gagasan-gagasannya dalam menyikapi problem-problem intelektual dan sosial yang muncul di dalam masyarakat dengan tetap berpijak pada koridor al-Qur’an.
2. Usaha memahami al-Qur’an secara baik dan menyelami segenap makna yang termuat di balik simbol wahyu, meniscayakan ijtihad manusia dalam dalam memahaminya sesuai dengan tingkat kemampuan manusia. Upaya memahami maksud firman-Firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia tersebut itulah yang kemudian disebut tafsir.
3. Urgensi tafsir paling tidak disebabkan beberapa hal , diantaranya : [1] bahwa tafsir menuntun manusia mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk ilahi yang kemudian menjamin kebahagiaan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.[2] mengingat bahwa Al-Qur’an hadir dengan redaksi yang beragam, ada yang jelas dan terinci, tetapi ada pula yang samar dan universal.secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf. Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy. . Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan, dan Prof.Dr.M. Quraish Shihab di Indonesia.
4. M.Quraish Shihab mengawali gagasannya dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman Allah di dalam al-Qur’an kepada manusia yang ditafsirkan sesuai lingkungan budaya, kondisi sosial, dan perkambangan ilmu pengetahuan,serta keagungan firman Allah yang dapat menampung segala kemampuan, tingkat kecederungan, dan kondisi sosial dan peradaban yang berbeda-beda.
5. M. Qurish Shihab membangun bagan penafsirannya disamping mencermati dan mengkritisi argumentasi kaum Orientalis, juga merujuk tokoh-tokoh ulama tafsir, seperti:Fakhruddin ar-Razi (606 H/1210 M). Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I (809-885 H/1406-1480 M), Badruddin Muhammad ibn Abdullah Az-Zarkasyi (w 794 H) dan lain-lain yang menekuni ilmu Munasabat (keserasian hubungan bagian-bagian)al-Qur’an.
6. Secara umum gagasan Quraish Shihab yang terekam dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”, terdiri dari dua bagian pokok bahasan, yakni [1] gagasan sekitar khasanah al-Qur’an sebagai kitab suci dan penafsirannya, [2] gagasan tentang pembumian nilai-nilai al-qur’an dalam dunia emphirik.













DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al Karim
Azzan Drs. Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Tafakur, Bandung, 2007.
Baidan, Dr. Nashruddin, Metodelogi Penafsiran Al-Quran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 1 dan 5.
Tim Cendikiawan Muslim, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Jilid 7.
file:///D:/Artikel/biografi-singkat-quraish-shihab.html
Shihab,M.Quraish, “Membumikan al-Qur’an,Cet.XXXI Mizan: Bandung,2007.

Quraish memdapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anaknya duduk bersama. Pada saat itulah sang ayah menyampaikan nasihat yang kebanyakan berupa ayat Al-Qur’an

Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Makassar. Setelah itu ia melanjutkan studi disekolah lanjutan tinggi pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al- falaqiyah di kota yang sama. Untuk lebih mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima dikelas dua tsanawiyah. Kemudian ia melanjutkan studi ke Universitas al-azhar pada fakultas Ushuluddin jurusan tafsir dan hadis. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S-1). Dua tahun kemudian (1969) Quraish berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-Ijaz at-Tasyi’I li al-qur’an al- karim (kemukjizatan Al- qur’an al-karim dari segi Hukum).

Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor untuk membantu mengelola pendidikan IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis adan kemahasiswaan sampai 1980. Disamping memduduki jambatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur dalam menjalankan tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator perguruan tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur. Dan pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dibidang pembinaan mental. Di celah-celah kesibukannya ia merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan masalah Wakaf di Sulawisi selatan”(1978)

Untuk mewujutkan cita-citanya mandalami studi tafsir, pada 1980 Quraish kembali menuntut ilmu ke almameternya, al-Azhar dengan mengambil spesialisasi studi tafsir al-qur’an. Ia hanya membutuhkan waktu 2 tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-biqa’i Tahqiq wa dirasah ( kajian kitab Nazm ad-Durar (Rangkaian Mutiara) karya al-Biqa’i berhasil dipertahankan dengan pridikat summa cum laude dan memperoleh penghargaan mumtaz ma’a martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).

Setelah pulang ke tanah air, Quraish kembali mengabdi di tempat tugasnya semula, IAIN Alauddin Makassar. Namun, 2 tahun kemudian (1984) ia ditarik ke Jakarta sebagai dosen pada fakultas Ushuluddin dan program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.Karena keahliannya dalanm bidang kajian Al-Qur’an Quraish tidak memerlukan waktu lama untuk dikenal di kalangan masyarakat intelektual Indonesia. Dalam waktu singkat ia segera dilibatkan dalam berbagi forum nasional antara lain menjadi ketua *majlis Ulama Indonesia (MUI,1984), anggota *Lajnah pentashih Mushaf Al-qur’an Departemen Agama(1989) dan anggota badan pertimbangan pendidikan nasional (1989). Selain itu juga aktif di berbagai organisasi, seperti organisasi penghimpunan ilmu-ilmu syariat, konsorsium ilmu-ilmu agama Depdikbud, dan *ikatan Cendekiawan Muslim se-indonesia (ICMI). Disamping itu ia tetap memberikan ceramah keagamaan dalam berbagai forum dan menghadiri berbagai kegiatan ilmiah, baik didalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1993 pemerintah mempercayakan untuk mengemban tugas sebagi rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu ia juga menjadi direktur pendidikan Kader Ulama (KPU), yang merupakan salah satu usaha MUI untuk membina kader ulama di tanah air. Quraish juga pernah memangku jabatan menteri Agama RI pada Kabinet Pembangunan VII (1997-1998). Ia kemudian diangkat pemerintah RI menjadi duta besar RI untuk Mesir (1999-2003). Selanjutnya ia kembali ke UIN Jakarta sebagai guru besar.

Di bidang intelektual, kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya. Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubric “Pelita Hati” dalam surat kabar Pelita, dan pada rubric “Hikmah” dalam surat kabar Republika, adapun yang berupa urutan tafsir muncul pada rubrik “tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Tafsir al-Amanah Jilid I. sejumlah makalah dan ceramah tertulisnya sejak 1975 dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk dua buah buku dengan judul “Membumikan Al-Quran” (Mizan, 1992) dan Lentera Hati (Mizan, 1994). Karya lainya ialah Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Makassar: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir al-Fatih [Jakarta: Untagma, 1988]), Wawasan al-Quran (1996), Mengungkap Lentera Hati (Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Quran [1998]), Mukjizat Al-Quran Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1998), dan Tafsir al-Misbah yang terdiri dari 15 Jilid diterbitkan oleh Lentera Hati.

Secara umum gagasan Quraish Shihab yang terekam dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”, terdiri dari dua bagian pokok bahasan, yakni [1] gagasan sekitar khasanah al-Qur’an sebagai kitab suci dan penafsirannya, [2] gagasan tentang pembumian nilai-nilai al-qur’an dalam dunia emphirik.

3.CORAK PEMIKIRAN DAN METODOLOGI TAFSIR M. QURAISH SHIHAB

M.Quraish Shihab mengawali gagasannya dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman Allah di dalam al-Qur’an kepada manusia yang ditafsirkan sesuai lingkungan budaya, kondisi sosial, dan perkambangan ilmu pengetahuan,serta keagungan firman Allah yang dapat menampung segala kemampuan, tingkat kecederungan, dan kondisi sosial dan peradaban yang berbeda-beda.

Seorang mufassir menurutnya di tuntut untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Quran dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dan bathil serta jalan keluar bagi setiap probelam kehidupan yang dihadapi, Mufassir dituntut pula untuk menghapus kesalahpahaman terhadap al-Qur’an atau kandungan ayat-ayat al-Qur’an.

M. Qurish Shihab membangun bagan penafsirannya dengan mencermati dan mengkritisi argumentasi kaum Orientalis dan juga merujuk tokoh-tokoh ulama tafsir, seperti:Fakhruddin ar-Razi (606 H/1210 M). Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I (809-885 H/1406-1480 M), Badruddin Muhammad ibn Abdullah Az-Zarkasyi (w 794 H) dan lain-lain yang menekuni ilmu Munasabat (keserasian hubungan bagian-bagian)al-Qur’an. Quraish Shihab mengemukakan bahkan membuktikan keserasian di maksud, paling tidak dalam 6 hal:

a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.

b. Keserasian kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat

c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya

d. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya

e. Keserasian penutup surah dengan uraian surah sesudahnya

f. Keserasian tema surah dengan nama surah.

Berikut ini beberapa contoh penafsiran penafsiran dalam kitab tafsir al-Misbah:

a. Keserasian ayat dengan ayat.

Tafsir surah al- Baqarah ayat 63.

øŒÎ)ur $tRõs{r& öNä3s)»sVÏB $uZ÷èsùuur ãNä3s%öqsù uqÜ9$# (#räè{ !$tB Nä3»oY÷s?#uä ;o§qà)Î/ (#rãä.øŒ$#ur $tB ÏmŠÏù öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÏÌÈ


Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 63)

Ayat ini berbicara tentang peristiwa yang mereka alami ketika menolak melaksanakan kandungan kitab suci taurat. Ketika itu, Allah memerintahkan malaikat mengangkat gunung Thursina ke atas kepala mereka.

Tafsir surah al-A’raf ayat 7
£`¢Áà)uZn=sù NÍköŽn=tã 5Où=ÏèÎ/ ( $tBur $¨Zä. šúüÎ7ͬ!$xî ÇÐÈ

Artinya:
Maka Sesungguhnya akan kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang Telah mereka perbuat), sedang (kami) mengetahui (keadaan mereka), dan kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al-A’raf: 7)

Tafsir surah al-Baqarah ayat 93
øŒÎ)ur $tRõs{r& öNä3s)»sVÏB $uZ÷èsùuur ãNà6s%öqsù uqÜ9$# (#rääz !$tB Nà6»uZ÷s?#uä ;o§qà)Î/ (#qãèyJó$#ur ( (#qä9$s% $uZ÷èÏÿxœ $uZøŠ|Átãur (#qç/Ìô©é&ur Îû ãNÎgÎ/qè=è% Ÿ@ôfÏèø9$# öNÏdÌøÿà6Î/ 4 ö@è% $yJ|¡ø¤Î/ Nà2ããBù'tƒ ÿ¾ÏmÎ/ öNä3ãY»yJƒÎ) bÎ) OçGYä. šúüÏZÏB÷sB ÇÒÌÈ

Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". dan Telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi Karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat[74] perbuatan yang Telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. (QS. Al-Baqarah: 93).

b. Munasabah akhir surah dengan awal surah

Surah an-Naba ayat 40
!$¯RÎ) öNä3»tRöxRr& $\/#xtã $Y6ƒÌs% uQöqtƒ ãÝàZtƒ âäöyJø9$# $tB ôMtB£s% çn#ytƒ ãAqà)tƒur ãÏù%s3ø9$# ÓÍ_tFøn=»tƒ àMZä. $R/ºtè? ÇÍÉÈ

Artinya:
“Sesungguhnya kami Telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang Telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah". (QS. An-Naba: 40).

Akhir suran an-Naba ini menguraikan tentang keinginan orang-orang kafir untuk tidak wujud sebagai manusia tetapi sebagai tanah atau tidak dibangkitkan dari kubur dan tetap berada di sana menyatu dengan tanah.


Surah an-Naziat 1

ÏM»tãÌ»¨Y9$#ur $]%öxî ÇÊÈ

Artinya:
“Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras”,

Awal surah an-Naziat ini menguraikan tetnang malaikat-malaikat yang mencabut nyawa manusia baik yang mukmin atau yang kafir

c. Munasabah uraian awal satu surah dengan penutupnya

Surah al-Mursalat ini diuraikan sebagai informasi tentang pengingkaran kaum musyrikin terhadap keniscayaan kiamat dan karena itu mereka wajar mendapat kecelakaan yang berlipat ganda.

Akhir surah al-Mursalat di akhiri dengan pertanyaan bahwa kalau mereka tidak mempercayai informasi al-Quran maka tidak lagi selainnya yang dapat mereka percayai.
Ternyata mereka tetap berkeras meragukan dan menolak bahkan saling membicarakan hal tersebut baik dengan tujuan mengejek atau senda gurau atau menampakkan kemustahilannya.
Awal surah al-Naziat 1-5

ÏM»tãÌ»¨Y9$#ur $]%öxî ÇÊÈ ÏM»sÜϱ»¨Z9$#ur $VÜô±nS ÇËÈ ÏM»ysÎ7»¡¡9$#ur $[sö7y ÇÌÈ ÏM»s)Î7»¡¡9$$sù $Z)ö7y ÇÍÈ ÏNºtÎn/yßJø9$$sù #XöDr& ÇÎÈ

Artinya:

1. Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,

2. Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,

3. Dan (Malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,

4. Dan (Malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang,

5. Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)

Karena itulah awal surah ini mengajukan pertanyaan yang tujuannya adalah menampakkan kebenaran atas sikap mereka, serta memperingatkan dan mengancam mereka.

M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya menggunakan metode tafsir maudhui (tematik) yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Quran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat tersebut, dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.

Menurutnya, dengan metode ini pendapat al-Quran tentang berbagai masalah kehidupan dapat diungkap sekaligus dan dapat di jadikan bukti bahwa ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyrakat.

Metode maudu’i ini memiliki beberapa keistimewaan antara lain:

a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain yang di gambarkan.

b. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits nabi satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.

c. Dapat membuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Quran bukan bersifat teoritis semata-mata. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Quran sebagai kitab suci.

d. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Salah satu contoh penafsiran M. Quraish Shihab dengan metode maudhuiy, pada surah al-Baqarah (2) ayat 76-77.

#sŒÎ)ur (#qà)s9 tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#þqä9$s% $¨YtB#uä #sŒÎ)ur Ÿxyz öNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ (#þqä9$s% NæhtRqèOÏdptéBr& $yJÎ/ yxtFsù ª!$# öNä3øn=tã Nä.q_!$ysãÏ9 ¾ÏmÎ/ yYÏã öNä3În/u 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÐÏÈ

Ÿwurr& tbqßJn=ôètƒ ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB šcrÅ¡ç $tBur tbqãYÎ=÷èムÇÐÐÈ


“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata:" kamipun Telah beriman," tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: "Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang Telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Tuhanmu; Tidakkah kamu mengerti?". Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?(QS. Al-Baqarah: 76-77)

Bukti lain tentang ketidakwajaran mengharap terlalu banyak kepada mereka ( Orang-orang yahudi ) bagi mereka yang beriman dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. adalah apa yang dikemukakan oleh ayat ini yaitu yang dimulai dengan kata Dan.

Ayat ini menguraikan bahwa sebagian mereka yang mengaku memeluk Islam, sebenarnya hanya berpura-pura. Hanya di hadapan umat Islam mereka mengaku beriman. Tetapi apabila mereka menyendiri satu dengan yang lain tanpa disaksikan oleh seorang mukmin, ada di antara orang-orang Yahudi yang tetap disaksikan oleh seorang mukmin, ada di antara orang-orang Yahudi yang tetap menganut kepercayaan mereka yang menegur dan mengecam orang-orang Yahudi yang masuk Islam dengan berkata secara sembunyi-sembunyi: “Apakah kamu menceritakan kepada merka, yakni kaum muslim, apa yang telah diterangkan Allah kepada kamu?” Yakni mengapa kalian menyampaikan bahwa dalam kitab Taurat disebutkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. ini tidak wajar, lanjut yang mengecam itu. Karena dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjah kamu dihadapan Tuhan kamu. Maksudnya, penyampaian hakikat itu memperkuat posisi umat Islam menghadapi orang-orang Yahudi.

Ayat ini juga dapat berarti bahwa orang-orang Yahudi yang mempertahankan keyakinan agamanya berkata kepada yang berpura-pura memeluk Islam: “Apakah kalian menyampaikan kepada orang-orang Islam sesuatu yang akan membuka kedok serta mempermalukan kamu kelak di hari kemudian di hadapan Tuhan. Karena ketika itu, kaum muslim akan berkata kepada kamu, “Bukankah kalian telah menyampaikan kepada kami apa yang terdapat dalam kitab suci Taurat tentang hakikat ajaran Islam dan kebenaran Nabi kami?” ini akan menambah malu kalian di hari kemudian. Karena, tidak sama yang mengakui kebenaran lalu menutup-nutupinya (menjadi munafik) dengan yang tidak mengakuinya walaupun dia mengetahui. Maksudnya, ia munafik berbohong dua kali; sekali berpura-pura masuk Islam, dan di kali lain tahu kebenaran tetapi tidak sepenuh hati menerimanya. Tidakkah kamu berakal? Yakni tidak adakah pengetahuan yang kamu miliki yang dapat menghalangi kamu mengucapkan sesuatu yang dapat memperkuat posisi kaum muslimin dan mempermalukan kamu kelak di sisi Allah?

Demikian kecaman mereka. Allah balik mengecam, karena seakan-akan mereka tidak sadar bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman menyangkut orang-orang Yahudi itu: “Tidakkkah mereka mengetahui, baik mereka yang munafik maupun yang secara tegas menolak beriman, bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan? Yakni, apa yang mereka rahasiakan dengan apa yang mereka nyatakan, sama-sama dalam pengetahuan Allah. Keduanya jelas dan sama tingkat kejelasannya di sisi Allah.

Rahasia adalah apa yang Anda tidak bisikkan kepada orang lain. Ia adalah yang Anda ketahui tetapi Anda tidak ingin diketahi orang lain. Adapun yang nyata adalah apa yang diketahui orang lain atau Anda tidak keberatan bika diketahui orang lain. Ayat ini menyatkan bahwa Allah mengetahui yang dirahasiakan dan mengetahhui juga apa yang dinyatakan. Di tempat lain, Allah menembahkan juga yang lebih rahasia (QS. Thaha[20]: 7). Yakni bahwa selain yang disebutkan di atas Allah swt. juga mengetahui apa yang berada di bawah sadar manusia dan sudah dilupakannya dan atau yang belum dikerjakan dan akan dirahasiakannya.

3. WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG EPISTIMOLOGI.

Dalam pandangan Quraih Shihab, kendati bahasan menyangkut Epistimologi merupakan bahasan filsafat, namun dalam AI-Qur'an dapat ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang mas'alah-mas'alah yang menjadi pokok bahasan fiIsafat, walau bukan dengan istilah-istilah yang digunakan para Philosof.

Para pakar menyatakan bahwa epistimologi terambil dari kata Yunani kuno epistime yakni berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tersebut diartikan sebagai satu bagian dari bahasan filsafat yang membahas dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Pakar-pakar agama Islam berbahasa Arab menerjemahkannya dengan Nazhariyat al-Ma'rifah. Mereka tidak menamainya Nazhariyat AI-'Ilm karena 'Ilm (ilmu) berbeda dengan Ma'rifah. Ilmu dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami kekaburan, sedang kata ma'rifat boleh jadi disertai kekaburan karena itu pula Allah tidak menyandang sifat ma'rifat. Dia tidak dinamai 'Arif tetapi ‘Alim (Maha Mengetahui,) yang pengetahuan-Nya tidak didahului oleh ketidak tahuan, tidak juga disentuh oleh kekaburan, berbeda dengan manusia ketika menyandang sifat ‘Arif. Penggunaan istilah Nazariaya l-Ma'rifah disamping mengisyaratkan bahwa bahasan ini dalam pandangan agamawan berkaitan dengan pengetahuan manusia bukan pengetahuan Allah, juga untuk membedakan secara dini pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia.

Beragam uraian para pakar tentang persoalan yang dibahas oleh epistemologi, namun agaknya Quraish Shihab mengambil beberapa hal pokok saja yang terkait dengan epistimologi menjadi bahasannya, antara lain:

a.wujud dalam pandangan al-quran.

Sekian banyak ayat yang menganjurkan untuk menggunakan mata, dan telinga. Ini bukti bahwa yang diperintahkan untuk dilihat dan didengar itu adalah sesuatu yang wujud. Al-Qur'an juga menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan menjadikan pengalarnan sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Karena itu kita dapat berkata bahwa dalam pandangan Al-Qur'an wujud yang yang diinformasikan oleh panca indra - selama dalam wilayah kerjanya -dapat diandalakan dan bahwa apa yang dijangkaunya adalah satu kenyataan. Ini selama indra itu tidak mengalami gangguan dari dalam dan luar dirinya. Selanjutnya Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalamya dalarn menimbang ide yang masuk kedalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hat ini dan dengan berbagai redaksi seperti tsa'qilun, tatafakkarun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran,- juga selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya. Bahkan AI-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa : Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S. An-Nahl [16]: 78.

Pada ayat diatas, disebutkan disamping mata dan telinga, juga hati. Karena itu – dalam pandangan AI-Qur'an - mengandalkan indra dan akal saja untuk meraih pengetahuan ataumengandalkan keduanya saja untuk menetapkan yang maujud tidaklah cukup, akibat keterbatasan-keterbatasan kedua alat pengetahuan itu. AI Qur'an menginformasikan bahwa ada wujud yang tidak terjangaku oleh indra dan nalar. Allah berfirman sambil bersumpah Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat (dengan mata kepala atau dan mata hati) serta apa yang kamu tidak lihat (Q.S. AI-Haqah [69]:38-39).

Sebenarnya sementara philisof sudah menggaris bawahi ketebatasan akal dan ketidak mampuannya untuk menjangkau metafisika. Emanuel Kant ( 1724-1804 M) misalnya yang dinilai sebagai salah seorang tokoh utama rasionalisme menyatakan bahwa soal-soal metafisika bukanlah wilayah garapan akal. Wujud Tuhan, kehadiran ruh, - menurutnya – tidak bisa dituntaskan dengan bukti -bukti rasional.

Wujud ada yang hidup ada juga yang tidak hidup. Begitu secara umum logika kita berkata…”karena hidup dalam pengertian umum ditandai oleh gerak tubuh atau rasa. Tetapi dari AI-Qur'an difahami bahwa ada wujud yang selama ini dikatagorikan sebagai tidak hidup, tetapi sebenarnya ia hidup. Bahkan seluruh wujud dalam pandangan kitab suci itu hidup, kendati panca indara dan nalar kita tidak menjangkau makna hidupnya. Bumi seringkali dilukiskan sebagai dihidupkan Allah setelah kematiannya, (Q.S. AI-Baqarah [2]: 164), petir memuji Tuhan ( Q.S. Arra'ed [13]:13 ), gunung-gunung pun bertasbih, memenuhi perintah Allah agar mengulang-ulangi tasbih nabi Daud ( Q.S.Saba' [34]:10) bahkan segala sesuatu bertasbih memuji Allah tetapi hakikat semua itu tidak dapat dijangkau oleh nalar. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun". (Q.S. AI-Isra' [17]:44).

Memang kita dapat memahami kata hidup, dalam ayat-ayat diatas dalam pengertian metafore atau bahwa ia berarti berfungsinya sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya, bertasbih dan memuji pun dapat diartikan dengan pola tersebut, tetapi penekanan ayat diatas bahwa "tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka" bukan saja mengisyaratkan keterbatasan akal tetapi juga bahwa ada substasi wujud yang tidak terjangkau oleh indra dan nalar manusia.

Sikap nabi Muhammad saw berkaitan dengan benda-benda yang kita namai : "benda mati" juga menunjukkan bahwa benda tersebut hidup dan merasa. Beliau misalnya bersabda: "Bukit Uhud mencintai kita dan kita pun mencintainya." Benda-benda yang "tak bemyawa " beliau beri nama seperti pedang beliau dinamai Dzul Fiqar, gelas minum beliau As-Shadir, cemin beliau Aimidallah dan masih banyak lainnya. lni mengandung arti bahwa benda-benda itu memiliki "personality" yang merasa atau paling tidak membutuhkan persahabatan dan kasih sayang.

Sementara pakar AI-Qur'an menggaris bawahi Q.S. an-Nisa' [4] 10 “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, mereka itu tidak lain kecuali memakan (menelan) api dalam perut mereka, dan nanti mereka akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka). Dalam ayat ini disebut dua hal yang berkaitan dengan tindakan memakan harta anak yatim secara aniya. Yang pertama, ya’kulu buthunihim nara yakni menggunakan fi'il mudhari' (kata kerja masa kini /present tense) sedang yang kedua, wa sayaslu na sa’ira juga menggunakan kata kerja yang sama hanya saja dibarengi dengan huruf sin yang digunakan menunjuk masa datang. Perbedaan redaksi tersebut oleh sementara pakar dijadikan sebagai isyarat bahwa mereka yang memakan harta anak yatim secara aniya sejak sekarang telah memakan api, - kendati kita tidak melihatnya - dan nanti di hari kemudian mereka akan masuk ke neraka.

b.hakikat pengetahuan.

Gambaran yang dikemukakan oleh para philosof tentang makna pengetahuan sungguh beragam. Filosof Islam Ibnu Maskawaih menulis bahwa "pengetahuan" adalah “Diserapnya oleh jiwa forma sesuatu yang wujud sesuai dengan hakikatnya." Yang dimaksud dengan form adalah lawan dari bentuk matrial sesuatu. Bentuk matrial kursi adalah sesuatu yang terbuat dari bahan-bahan tertentu seperti kayu atau besi dan yang berfungsi sebagai tempat duduk, sedang formanya adalah gambaran dari kursi yang masuk dalam benak. Tentu saja yang masuk ke dalam benak bukan kayu atau besi itu. Ada juga yang menggambarkan pengetahuan sebagai "Hadir atau terserapnya maujud non matrial dalam maujud non matrial lainnya" atau " Hadimya sesuatu, atau bentuk partikulamya atau konsep umurnnya pada maujud mujarrad." Filosof lain mengartikannya sebagai "Keyakinan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan."

Pengetahuan/Ilmu menurut mereka adalah lawan dari kebodohan sederhana ( ketidak tahuan subjek terhadap objek) dan juga lawan dari kebodohan berganda yakni kebodohan sederhana plus dugaan subjek bahwa ia mengetahui objek padahal ia tidak mengetahuinya. Apapun gambaran yang diberikan para pakar tentang makna pengetahuan, namun salah satu hal penting -dalam pandangan Islam- tentang makna pengetahuan, yang perlu digaris bawahi yaitu bahwa ia tidak selalu harus diperhadapkan dengan kebodohan. Jika ada mas'alah yang demikian sulit, lalu Anda sadari bahwa Anda tidak dapat menjangkaunya dan berkata "Saya tidak tahu" maka ucapan Anda itu menunjukkan pengetahuan Anda tentang masalah tersebut yakni bahwa ia demikian sulit dan tidak terjangkau. Ketika itu, yakni ketika Anda berkata "Saya tidak tahu" maka Anda memiliki pengetahuan melebihi pengetahuan siapa yang berusaha menjawabnya padahal pada akhimya dia tidak mampu menjawab. Karena itu AI-Qur'an pun mengajar kepada Nabi Muhammad saw untuk berkata "Saya tidak tahu " menyangkut hal-hal yang berada diluar kemampuan beliau - seperti ketika ada yang mengajukan pertanyaan tentang ruh, (Q.S. Al-Isra' [17]:85) dan Allah pun memerintahkan beliau untuk berdoa" Wahai Tuhan tambahlah untukku pengetahuan"( Q.S.Thaha[ 20]:1 14. Ketika Sayyidina Abubakar r.a. ditanyai " Bagaimana Engkau mengenal Tuhan?" Beliau menjawab : Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan, Seandainya tanpa Tuhan Aku tentu tidak mengenal Tuhan" Si Penanya lebih lanjut bertanya : "Bagaimana Engkau mengenal-Nya?" Beliau menjawab:(Kesadaran akan ketidak mampuan menjangkau' sesuatu merupakan pengetahuan" Dari sini kita dapat berkata bahwa ada jenis pengetahuan yang justeru adalah ketidak tahuan." Itu salah satu sebab sehingga dalam literature agama ditemukan ungkapan yang menyatakan : "Ucapan saya tak tahu adalah setengah pengetahuan" dan itu pula sebabnya bibir dan karya tulis para ulama Islam selalu dihiasi oleh kalimat Allah A'lam .

c.kebenaran pengetahuan.

Sementara pakar berpendapat bahwa pengetahuan yang diraih seseorang terdiri dari dua jenis. Pertama yang secara langsung menukik tanpa perantara. Ini seperti pengetahuan seseorang tentang dirinya. Sedang yang kedua adalah pengetahuan yang diraih melalui perantara, katakanlah bentuk badan dan wama kulit seseorang. Dua hal ini diketahuinya melalui perantara matanya. Yang pertama dinilai sebagai pengetahuan yang tidak disentuh oleh kesalahan. Sedang yang kedua yang bersifat perolehan itu mengandung kemungkinan salah.

Para rasionalis berpendapat bahwa tolok ukur mengenali kebenaran adalah watak dasar atau Fithrah akal ( Fithrat AI-' Aqel). Sedang para empirisis berpendapat bahwa tolok ukur kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya untuk dibuktikan melalui pengalaman bahkan sebagian berkata pengalaman praktis.

Kedua hal diatas tidak sepenuhnya diterima oleh ilmuan muslim. Tolok ukur pengalaman tidak dapat digunakan kecuali dalam kaitan dengan benda-benda kasat mata, bukan dalam soal-soal matematika dan akal murni. Disisi lain karena hasil pengalaman itu tentulah harus diketahui melalui pengetahuan yang bersifat perolehan, sedang sarana perolehan itu tidak dapat dijamin kebenarannya, maka hasil yang diduga sepenuhnya benar itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Ia hanya bersifat individual sehingga subjektivitasnya amat tinggi bahkan bisa jadi lahir kesimpulan yang diambil dari pandangan-pandangan keliru yang diduga benar, apalagi ia dihidangkan oleh si pemikir tanpa argumentasi atau pengkoordinasiaan. Al-Qur'an menginformasikan bahwa : Setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Q.s. AI-An'am [6]:112).

Di banyak tempat dalam AI-Qur'an ditegaskan bahwa Allah dan juga malaikat mengukuhkan hati orang beriman (Baca a.l. Q.s. , AI-Anfal [8]:12 dan Q.S. Ibrahim 14 : 27) karena itu menurut bahasa Nabi Muhammad saw, apa yang muncul dari dalam diri manusia bisa jadi Lammat malakiyah yakni bisikan malaikat, bisa juga Lammat Sayaithaniyah / bisikan setan. Seseorang memang dapat diliputi oleh subjektivitas yang menjadikan kesimpulannya tidak berdasar yang shahih. Dari sini juga kita dapat berkata bahwa kebenaran yang diperoleh manusia melalui dirinya sendiri - baik perolehan yang menukik tanpa perantara maupun dengan perantara adalah kebenaran nisbi. Kalau perolehan itu disepakati oleh para pakar dalam bidangnya, maka ia menjadi kebenaran ilmiah yang sifatnya tetap nisbi dan bisa jadi temporer.

Al-Qur'an pun mengisyaratkan adanya pengetahuan yang diperoleh tanpa perantara. Tetapi yang ditekankannya adalah yang bersumber dari luar diri manusia. Dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya: Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui(nya) (Q.S. AI-Qalam [96]: 4-5

Dalam Tafsir AI-Misbah Quraish Shihab antara lain menguraikan bahwa :" Pada kedua ayat diatas terdapat apa yang dinamai Ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat empat kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat lima, dan pada ayat lima kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat empat telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat diatas dapat berati "Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya." Kalimat "yang telah diketahui sebelumnya" disisipkan karena isyarat pada susunan kedua yaitu "yang belum/tidak diketahui sebelurnnya". sedang kalimat "tanpa pena" ditambahkan karena adanya kata "dengan pena"dalam susunan pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan "telah diketahui sebelumnya"adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan.

Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt. dalam mengajar manusia. Pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny.

Kebenaran Ilm Ladunny melebihi kebenaran hasil penalaran. lni diuraikan oleh AI-Qur'an melalui kisah Nabi Musa as bersama seorang yang dianugerahi Allah llm Ladunny. Nabi Musa as yang demikian cerdas, dan kritis yang tentunya menimbang segala sesuatu dengan sangat cermat, telah dinilai keliru, padahal Siapa yang menggunakan nalamya pasti akan berkata bahwa membocorkan perahu milik orang miskin dan sarana pencarian rezekinya adalah sesuatu yang buruk,... membunuh anak kecil adalah tindakan kriminal,.. membangun bangunan yang hampir rubuh dengan meminta upah adalah sangat wajar dan rational. Tetapi satu persatu dipersalahkan oleh dia yang mendapat llm Aldunny itu guna membuktikan bahwa dibalik phenomena yang dilihat dan dan menjadi bahan pertimbangan Nabi Musa as, masih ada sekian banyak hal yang tersembunyi yang tidak diketahuinya dan yang menuntutnya untuk percaya dan - Ittiba'. (Q.S. al-Kahfi [18]: 60-82).Untuk memperolehnya diperlukan kebersihan hati dan ketaqwaan.

Sementara pakar menjadikan firman-Nya “dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Albaqarah [2] :282) sebagai bukti keterkaitan antara taqwa dengan perolehan pengetahuan. Dalam Q.S. AI-Hadid (57] 28 Allah menegaskan keterkaitan iman dan taqwa dan perolehan cahaya penerang jalan hidup yakni ilmu. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berimanlahn kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian dari rahmat-Nya kepada kamu dan menjadikan buat kamu cahaya (yang menerangi kamu) dalam berjalan. Cahaya yang dimaksud adalah ilmu, karena /lmu adalah cahaya sedang kebodohan adalah kegelapan.

Wahyu-wahyu Ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jiwanya adalah tingkat tertinggi dari bentuk pengajarannya tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Dibawah peringkat wahyu adalah ilham, intuisi dan firasat, dan juga mimpi yang kesemuanya dalam beberapa rinciannya adalah anugerah Tuhan semata, dan tidak dapat diperoleh melalui usaha manusia. (1)

d.pemanfaatan ilmu.

Sejak dini bahkan dalam wahyu pertama Al-Qur' an telah menggaris bawahi bahwa perlunya memanfaatkan ilmu. Ilmu dituntut bukan untuk tujuan mengetahui tetapi untuk diamalkan dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan seluruh makhluk. Firman-Nya Iqra' Bismi rabbika perintah untuk melakukan upaya pencarian pengetahuan demi atas nama dan demi karena Allah..

Karena itulah AI-Qur'an tidak mengenal semboyan “Ilmu untuk Ilmu". Setiap langkah pencarian ilmu, tidak boleh lepas dari tujuan kemaslahatan sebanyak mungkin makhluk. Dari sini juga kita menemukan Nabi Muhammad saw mengajarkan doa yang antara lain menyatakan: Allahumma Inny A'udzu Bika Min 'ilmen La Yanfa' (Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).Sayyidina Ali k. w. yang digelar sebagai Pintu gerbang Ilmu (Bab Madinatil AI-'Ilm) berkata:“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat. Ketahuilah bahwa tidak ada baiknya pengetahuan yang tidak bermanfaat dan tidak tidaklah dapat dimanfaatkan pengetahuan yang tidak wajar dipelajari" Manfaat dimaksud adalah buat diri dan juga buat masyarakat. Dalam literature agama ditemukan juga nasehat berikut : - Sebaik-baik pengetahuan untukmu adalah pengetahuan yang tidak menjadi baik aktivitasi mu kecuali dengannya ...

D.KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Quraish Shihab adalah seorang pakar tafsir dan dan ilmu-ilmu al-qur’an terkemuka di Indonesia. Beliau secara efektif dan efisien dalam menjabarkan metodologi memahami al-Qur’an, dan secara genius merumuskan gagasan-gagasannya dalam menyikapi problem-problem intelektual dan sosial yang muncul di dalam masyarakat dengan tetap berpijak pada koridor al-Qur’an.

2. Usaha memahami al-Qur’an secara baik dan menyelami segenap makna yang termuat di balik simbol wahyu, meniscayakan ijtihad manusia dalam dalam memahaminya sesuai dengan tingkat kemampuan manusia. Upaya memahami maksud firman-Firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia tersebut itulah yang kemudian disebut tafsir.

3. Urgensi tafsir paling tidak disebabkan beberapa hal , diantaranya : [1] bahwa tafsir menuntun manusia mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk ilahi yang kemudian menjamin kebahagiaan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.[2] mengingat bahwa Al-Qur’an hadir dengan redaksi yang beragam, ada yang jelas dan terinci, tetapi ada pula yang samar dan universal.secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf. Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy. . Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan, dan Prof.Dr.M. Quraish Shihab di Indonesia.

4. M.Quraish Shihab mengawali gagasannya dengan menjelaskan tentang maksud-maksud firman Allah di dalam al-Qur’an kepada manusia yang ditafsirkan sesuai lingkungan budaya, kondisi sosial, dan perkambangan ilmu pengetahuan,serta keagungan firman Allah yang dapat menampung segala kemampuan, tingkat kecederungan, dan kondisi sosial dan peradaban yang berbeda-beda.

5. M. Qurish Shihab membangun bagan penafsirannya disamping mencermati dan mengkritisi argumentasi kaum Orientalis, juga merujuk tokoh-tokoh ulama tafsir, seperti:Fakhruddin ar-Razi (606 H/1210 M). Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I (809-885 H/1406-1480 M), Badruddin Muhammad ibn Abdullah Az-Zarkasyi (w 794 H) dan lain-lain yang menekuni ilmu Munasabat (keserasian hubungan bagian-bagian)al-Qur’an.

6. Secara umum gagasan Quraish Shihab yang terekam dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”, terdiri dari dua bagian pokok bahasan, yakni [1] gagasan sekitar khasanah al-Qur’an sebagai kitab suci dan penafsirannya, [2] gagasan tentang pembumian nilai-nilai al-qur’an dalam dunia emphirik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al Karim

Azzan Drs. Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Tafakur, Bandung, 2007.
Baidan, Dr. Nashruddin, Metodelogi Penafsiran Al-Quran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 1 dan 5.
Tim Cendikiawan Muslim, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Jilid 7.

file:///D:/Artikel/biografi-singkat-quraish-shihab.html

Shihab,M.Quraish, “Membumikan al-Qur’an,Cet.XXXI Mizan: Bandung,2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar