Minggu, 26 Juli 2009

Islam dan negara

ISLAM DAN NEGARA
( studi kritis atas pemikiran Ali Abdul Raziq )
I PENDAHULUAN.
A.LATAR BELAKANG.
Salah satu karakteristik Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu adalah suatu sistem yang mengatur cara hidup manusia secara lengkap dan menyeluruh. Kenyataan ini tergambar dalam perkembangan hukum Islam yang yang serba mencakup,baik yang berdimensi ubudiyah maupun muamalah. Karena itu, ajaran Islam dipahami sebagian besar ummat Islam sebagai sistem normatif, di mana Agama berhubungan secara integral dengan segala bidang kehidupan ummat Islam, seperti politik,ekonomi,sosial,hukum,pendidikan, dan keluarga.
Peradaban Islam pernah mempesonakan masyarakat dunia kurang lebih dua belas abad lamanya lantaran ajarannya yang universal, perluasannya yang sangat cepat,dan warisan budayanya yang sangat kaya. Namun sejak abad ke-17 hingga sekarang, dunia Islam tampaknya mengalami tantangan yang paling berat, baik dibidang politik maupun idiologi. Hal ini diakibatkan oleh stagnasi dialog yang dinamis dalam waktu yang lama antara Islam dan kebutuhan kehidupan ummat manusia di bidang sosial,politik,hukum, ekonomi, dan pertahanan keamanan, yang terus berkembang. Bahkan sekedar gambaran akan stagnasi tersebut, jatuhnya Mesir sebagai salah satu simpul kekuatan Islam oleh ekspansi Napoleon, terjadi dalam waktu yang sangat singkat ( Kurang dari tiga minggu ) pada tahun 1798 M.
Kolonialisme Barat mampu bercokol dalam masa waktu yang panjang di dunia Islam, adalah akibat dari degenerasi tauhid yang berdimensi kosmopolitan, dan hilangnya semangat jihad dan ijtihad dalam masyarakat Islam. Akhirnya degenerasi aqidah tersebut melahirkan degenerasi sosio-moral, sosio- politik, dan dekadensi etnik. Sistem kerajaan yang eksploitatif, tiranik, dan absolut kemudian ditolerir oleh kaum muslimin, dan ketidak adilan sosial sebagai sesuatu yang paling dikutuk dalam Islam, menjadi suatu hal yang biasa- biasa saja dalam masyarakat muslim. Singkatnya, bahwa ummat Islam dalam waktu yang panjang, telah mengalami kekaburan identias dan kehilangan harga diri yang justru dengan identitas dan harga diri itulah ummat islam pernah berjaya memimpin peradaban dunia.
Berangkat dari masalah keterpurukan dan keterbelakangan yang dihadapi dunia Islam itu, maka pada awal abad ke-dua puluh, dunia Islam kembali menggeliat menerjemahkan dirinya yang “kumuh”, dengan tampilnya pembaharu- pembaharu Islam modern seperti Jamaluddin al Afghani,Mohammad Abduh, Hasan al Banna, mohammad Iqbal, dan lain lain, “yang menjadikan Barat sebagai stimulan”. Tema- tema sentral yang menjadi pusat perhatian para pemikir pembaharuan Islam itu adalah; Hubungan antara iman dan ilmu atau antara keyakinan dan akal, Islam dan keadilan sosial,ekualitas antara pria dan wanita,pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat , hubungan antara agama dan negara,pembaharuan hukum,ajaran islam di bidang ekonomi,dan komitmen Islam dalam kemajuan pendidikan.
Hal yang sangat sensitif dalam tradisi intelektual Islam adalah masalah hubungan agama dan negara. Persoalan ini melahirkan perdebatan berkepanjangan dalam tradisi intelaktual Islam di masa modern, yakni apakah kebangkitan dunia Islam dapat kembali diwujudkan dengan rekonstruksi sistem khilafah yang telah menjadi model perkembangan dunia politik Islam di masa klasik dan pertengahan, atau justru agama harus dipisahkan dari medan politik dan pemerintahan. Berbagai pemikiran pro dan kontra pada masalah ini terus mengemuka sampai sekarang.
Salah seorang pemikir Islam tentang hal ini yang gagasannya sangat populer adalah Ali Abd Raziq. Dalam buku Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, ( Islam dan ketatanegaraan ) beliau berpandangan bahwa tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan hadits, suatu dalil yang menyinggung soal sistem pemerintahan,oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan-ketentuan tentang corak negara. Kalau Nabi Muhammad SAW, dalam menjalankan aktivitas kenabian dan kerasulannya, kemudian beliau menjadi pemimpin yang efektif bagi ummatnya baik dalam aspek moral- spiritual, maupun dalam aspek sosial- politik,dan ekonomi, semua itu masih dalam koridor risalah kenabian dan kerasulan,tidak yang lain.Maka tidaklah tepat jika kemudian kekalifahan atau lembaga khilafah dipandang sebagai bagian dari doktrin di dalam Agama Islam.
Sistem khalifah muncul sebagai perkembangan yang seharusnya dari sejarah sosial politik Islam. Nabi wafat, dan dengan wafatnya beliau, mestilah ada yang menggantikan beliau dalam mengurus soal ummat. Abu Bakar kemudian muncul sebagai khalifah atau pengganti beliau, kemudian berikutnya Umar, Usman, dan Ali. Mereka tidaklah mempunyai tugas keagamaan, mereka hanyalah kepala negara, dan bukan kepala agama. Oleh karena itu, corak dan bentuk negara bukanlah soal agama tetapi soal duniawi, dan diserahkan kepada akal dan pengalaman manusia untuk menentukannya. Dan karena itulah maka tindakan Mustafa Kemal Attaturk menghapuskan lembaga khilafah dan khalifah dari sistem kerajaan utsmani bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.
B.PEMASALAHAN
Dari uraian latar belakang masalah di atas,maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana postulat Islam dan Negara dalam lintasan pemikiran Islam.
2. Bagaimana Relevansi pemikiran Ali Abd.al-Raziq dengan proses modernisasi di Dunia Islam.
3. Bagaimana relevansi pemikiran Ali Abd.al-Raziq dengan perkembangan pemikiran dan Dunia Islam kontenporer.

II.PEMBAHASAN MASALAH.
A.KERANGKA TEORITIS TENTANG ISLAM DAN NEGARA.
Karena pokok masalah dalam makalah ini adalah hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat, maka sangat penting untuk mengklarifikasi makna dari istilah-istilah yang terkait dengan tema ini.
Dalam kamus bahasa Arab, ditemukan bahwa akar kata Islam dalam bahasa Arab adalah Sin-Lam-Mim. Secara umum kata ini mempunyai dua kelompok makna dasar, yaitu: [1] Selamat, bebas ,terhindar,terlepas dari,sembuh,dan meninggalkan. [2] Tunduk, pasrah, patuh, dan menerima. Kedua kelompok makna kata ini terkait satu sama lain.
Salima juga berarti murni, seperti dalam ungkapan Salima lahu asya’a, artinya sesuatu itu murni miliknya, yakni bebas dari persekutuan dengan orang lain. Dalam kaitan ini , maka kata Aslama juga berarti akhlasa ad-dina lillah, yakni memurnikan kepatuhan hanya kepada Allah.
Secara terminologi, terdapat rumusan pengertian yang beragam tentang makna Islam. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dikemukakan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diperintahkannya untuk mengajarkan pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada nabi Muhammad SAW dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan megajak mereka untuk memeluknya. Selanjutnya, Harun Nasution mendefenisikan; Islam adalah agama yang ajaran ajarannya diwahyukan tuhan kepada masyarakat manusia melalui Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran- ajaran yang mengatur berbagai segi dari kehidupan manusia, dan sumber dari ajaran tersebut adalah al-Qur’an dan Hadist.
Dari gambaran di atas, maka umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan nabi Muhammad SAW,antara 610-632 Masehi, yakni manakala beliau menyampaikan Al-Qur’an, dan menguraikan makna yang dikandung serta implikasi-implikasinya secara terperinci melalui tutur kata, tindakan dan kebijakan-kebijakan, serta perbuatan- perbuatan beliau, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunnah Nabi dalam literatur Islam. Sehubungan dengan pengertian di atas, maka Al-Qur”an dan Sunnah Nabi beserta konsep-konsep turunan dan ajektiva yang digunakan, bagi ummat Islam merupakan dasar dari pengertian Islam. Keduanya adalah sumber rukun Iman, praktek ritual, ajaran moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh setiap muslim. Di samping itu, Al-Qur’an dan Sunnah nabi juga adalah pedoman bagi ummat Islam dalam mengembangkan relasi sosial dan politik, serta norma-norma dan institusi hukumnya.Pengertian Islam yang seperti ini, diyakini dan dijadikan acuan oleh mayoritas ummat Islam dalam kehidupan sehari hari guna membimbing perkembangan spiritual dan moral mereka menuju apa yang dikehendaki tuhan untuk umat manusia di dunia ini. Dari perspektif inilah saya mencoba membingkai persoalan persoalan ini dalam kaitannya dengan institusi negara.
Istilah Syariah juga sering digunakan dalam wacana Islam hari ini, seolah olah kata ini sinonim dengan kata Islam, yakni sebagai totalitas kewajiban keagamaan ummat Islam, baik dalam pengertian personal maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan sosial, politik, dan hukum. Namun prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang diaplikasikan dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu Islam tidak hanya Syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid. Syariah adalah koridor dalam ber-Islam, meski tidak harus menutup habis pintu pintu pengetahuan dan pengalaman manusia dalam menegakkan ajaran Islam.
Terkait dengan kajian kita hari ini, maka saya merasa perlu mengklarifikasi bahwa Islam tidak hanya dipahami sebagai ideologi semata- mata, tetapi juga sebagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang, baik sebagai institusi politik maupun budaya dan peradaban. Tingkatan capaian peradaban ummat Islam sebagai realitas sosial, menurut saya selalu merupakan hasil intraksi antara ummat islam dengan Islam yang bermakna ideologis tadi.
Dalam makalah ini saya mecoba mengulas tentang kaitan antara Islam sebagai akidah monotheistik yang holistik dengan problematika yang mengemuka dalam konstruksi negara ( sebagai institusi yang mereferensi masyarakat dengan segenap hak dan kewajiban dengan penguasaan wilayah-teritorial dan ruang publik ), dengan menjadikan pemikiran Ali Abd. Al-Raziq sebagai lokus analisis tanpa mengesampingkan gagasan tentang penomena Islam dan negara saat ini.
Saya ingin memulai analisis ini dengan mengajukan catatan yang menurut saya penting, bahwa problem perseteruan antara agama dan Negara tidak pernah muncul dalam agama agama apapun sebelum agama monotheisme. Namun sejak agama-agama monotheisme muncul, ia telah menjadi problem besar dalam Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dari situ saya melihat bahwa penyebab konflik tersebut terkandung di dalam kenyataan bahwa agama monotheis pada dasarnya tumbuh di tengah konflik melawan rezim perbudakan yang telah mencapai titik kulminatif, lalu berubah menjadi rezim represif ( meninggalkan sama sekali prinsip prinsip moral dan etika ). Dari sini, Agama monotheis telah membentuk revolusi pengalaman spiritual bagi eksisnya humanisme, sebab agama monotheismelah yang pertama kali melakukan pemisahan diri dari otoritas politik dan mereformulasi aspek kesakralan dan kespiritualan di luar koridor otoritas dan kekuasaan, yaitu dunia metafisis hegemonik yang berdiri di atas negara dan mendominasinya. Akhirnya agama tampil menjadi sebuah otoritas spiritual sejati yang independen, lepas dari otoritas politik, berselisih dengannya dan bahkan terkadang memusuhinya. Hal ini karena otoritas kaum agamawan untuk pertama kalinya terpusat pada otoritas ketuhanan yang tidak memerlukan legitimasi dari raja ataupun negara. Dan, tidak mungkin negara mampu mengendalikan atau memaksa mereka untuk tunduk dan patuh pada parameter parameternya. Sebab, agama lahir sebagai pemegang otoritas yang sejajar atau bahkan melebihi otoritas profan setelah sebelumnya ia hanya dijadikan alat oleh otoritas profan dan penguasa yang refresif.
Hasil dari perubahan ini, akan tampak pada pergantian model hubungan antara agama dan negara, dan selanjutnya dapat dibuktikan dengan melemahnya posisi negara sebagai akibat dari munculnya komunitas sosial ( Jama’ah ) yang menyaingi atau bahkan melampaui negara. Jama’ah adalah konsep dan konstruksi baru yang tumbuh bersama agama yang membangun pola hubungan antar individu atas dasar prinsip persaudaraan seakidah dan menjadikan hubungan sosial tersebut sebagai manifestasi pengalaman keimanan sebagaimana ia menjadikan iman sebagai pengalaman spiritual, personal, internal, dan sekaligus sumber perekat dan chauvinitas sosial.
Itulah asal mula munculnya problem sekularisme dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dan negara. Oleh karena itu tidak mungkin merekonstruksi negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan absolut, tanpa kooptasi otoritas diatasnya kecuali dengan tiga kondisi: [1] Merombak dasar dasar kerja negara, fungsi,serta posisinya dalam masyarakat dan sistem sosial secara umum. [2] Mendekonstruksi otoritas kekuasaan baru yang di besarkan oleh agama dan menempatkan afiliasi pada jama’ah agama akan kesetiaan pada kekuatan tuhan lebih utama daripada kesetiaan pada penguasa politik dan kekuatan materi. [3] merombak keduanya sekaligus. Gagasan inilah yang kemudian berhasil dengan gemilang diaktualkan masyarakat barat dalam melakukan rekonstruksi radikal negara pada Yudaisme dan kristen yang melahirkan “blunder” sekularisme dan pemisahan otoritas agama ( gereja ) dengan otoritas profan di dunia barat.
Selanjutnya, Islam dalam kapasitasnya sebagai pelopor utama “revolusi spiritual” yang paling valid dan sempurna yang merupakan lawan dari kekuasaan yang refresif, dengan kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw, secara defacto telah menyatukan fungsi otoritas kenabian dan otoritas profan dalam kapasitasnya sebagai nabi Allah, panglima perang, dan kepala negara di Madinah Al-Munawwarah. Kemudian sepeninggal beliu, tradisi kepemimpinan politik berbasis moral ketuhanan, dilanjutkan oleh generasi pertama Islam yang dalam sejarah dikenal dengan Khulafa’ur rasyidun. Asumsi ini dipahami oleh masyarakat Islam pada umumnya. Namun pandangan ini bukanlah pandangan yang bersifat final, karena dalam perjalanan sejarah, telah terjadi distorsi yang sangat jauh antara konsepsi Islam dan negara yang diwariskan Nabi, dengan realitas Islam dan negara yang sampai ke tangan kita hari ini.
Dengan membaca realitas sejarah Islam, saya kemudia berpandangan bahwa; “Negara tidak dilahirkan di tengah-tengah masyarakat muslim dari generasi Islam pertama yang muncul dari revolusi ideologis, sosial, sekaligus politis. Akan tetapi sebaliknya, ia dilahirkan oleh reaksi kuat atas konsepsi revolusioner agama Islam dan oleh tampilnya kembali negara dalam bentuk sasanik ( Persia ) dan Bizantium ( Romawi ), yakni monarkhi absolut Muawiyah di Damaskus, serta keberhasilannya menundukkan agama dan mengembalikan tokoh-tokohnya ke profesinya masing-masing di bawah naungan negara dan kekuasaannya”.
Sebagai bukti atas pandangan ini, saya ingin mengemukakan sebuah analisis historis atas peristiwa perang saudara yang dikenal dalam sejarah Arab Islam sebagai al-fitnah al-Kubra ( Kerusakan terbesar ) yang berlangsung selama lima tahun. Buah dari tragedi ini, menurut saya adalah munculnya perpecahan riil yang pertama dalam komunitas masyarakat Islam, dan lahirnya negara dalam arti pemaksaan-pemaksaan penguasa tunggal dan politikus yang otoriter.
Kemenangan negara atas agama ini dibarengi oleh sejumlah fenomena yang tidak mungkin disalah tafsirkan maknanya jika benar-benar mengamatinya. Misalnya : [1] Penuntasan secara menyeluruh api fitnah pada generasi sahabat pertama dan naiknya generasi panglima meliter menggantikan mereka,[2] Terbentuknya kelas politik baru yang berangkat dari penghidupan kembali sistem hirarki sosial dan aristokrasi tribalisme jahiliyah ( Keluarga besar Umawiyah ) menggantikan posisi keluarga besar nabi yang memasuki babak panjang penindasan dan pemberangusan, [3] Perombakan risalah agama menjadi nota perundang undangan yang diterapkan di bawah kendali negara sesuai dengan dengan kebutuhan politik,[4] Perombakan otoritas keagamaan dan spiritual menjadi menjadi spesialisasi intelektual yang termanifestasi dalam golongan ulama agama dan ahli fiqhi.
Dengan demikian penundukan warisan nabi pada kepentingan-kepentingan negara dan kebutuhan-kebutuhannya merupakan prasyarat bagi dibangunnya kembali suatu negara pada lahan kosong dengan prinsip prinsip yang baru. Oleh karena itu untuk pertama kalinya sebuah negara harus berintraksi dengan komunitas ( jama’ah ) yang memiliki spirit, kerangka berfikir, ideologis, dan kepanatikan ( chaufinisme ) yang khas. Selain itu ia juga harus mengakui independensi masyarakat; yakni ( negara ) harus menerima pembatasan otoritas pemerintahan pada bidang kekuasaanya, meskipun ia belum mengenal konsep pendefenisian dan cara menjalankan otoritas kekuasaan pada bidang bidang pelaksanaanya. Maka dalam rangka melanggengkan eksistensinya, negara membutuhkan legitimasi moral agama. Meskipun demikian, karena pada negara tersimpul makna penguasaan teritorial dan ruang publik, maka negara dalam hal ini memiliki power dan otoritas yang bersifat koersif ( memaksa ).
Terkait dengan ini, maka Islam sebagai sebuah risalah ( Mission ), dalam pendekatan sosiologis juga mebutuhkan sarana otoritas untuk mengaktualisasikan ajaran- ajarannya, agar tetap eksis dalam memberi bingkai moral terhadap segenap kebijakan negara dalam rangka melahirkan maslahat bagi ummat manusia.
Begitulah ( Sejarah ) tumbuhnya negara Islam, sebagai produk balance antara logika jama’ah yang dibentuk agama dan logika negara yang diterapkan dengan kalkulasi- kalkulasi geo-politik dan politik. Negara Islam dilahirkan dengan proses kekaisaran yang didalamnya harus dirumuskan kembali posisi negara dan posisi agama serta perombakan konsep negara dan konsep agama. Sejarah negara-negara Islam selalu berkutat di seputar keseimbangan antara kekuatan jamaah dan kekuatan negara, serta antara kesepahaman dan permusuhan sesuai dengan tahapan sejarah serta pembentukan komunitas sosial sampai pada masa modern, dan dipahami sebagai bagian dari kewajiban dalam Islam untuk menegakkannya.
Hadirnya modernisme sebagai buah dari renaissance dan revolusi industri di dunia barat, menyisakan masalah dan tantangan-tantangan baru di dunia Islam. Intraksi model baru antara Barat dan Islam, kemudian mendorong lahirnya gerakan redefenisi dan rekonstruksi pemahaman keislaman,termasuk didalamnya melakukan penelusuran tehadap kemungkinan kemungkinan Al-Qur’an dan Hadist nabi memberi legitimasi normatif- teologis, terhadap tema tema bias modernisasi tersebut, seperti: liberalisme, sekularisme, equivalenisme, demokrasi, dan lain lain, di kalangan reformis ( Pembaharu ) Islam. Dalam kaitan inilah maka pemikiran Ali abd al-Raziq, menjadi saya pandang masih relevan dan menarik untuk dikaji lebih jauh.
B. Relevansi pemikiran Ali Abd.al-Raziq dengan proses modernisasi di Dunia Islam.
Untuk dapat memahami dan menyikapi lebih arif gagasan Ali Abd.Raziq, maka dibutuhkan penelusuran yang lebih luas pada aspek sosia-historis yang melatar belakangi lahirnya pemikiran beliau.
Mungkin karena pandangan pandangan Muhammad Abduh bahwa di dalam Islam tidak ada kekuasaan keagamaan ,dan bahwa semua rakyat Mesir memiliki tanggung jawab yang sama dalam bidang politik ,ekonomi,dan hukum, tanpa mempertimbangkan perbedaan agama dan keyakinan seperti yang tertera dalam program Partai Nasional Mesir yang dia rumuskan, serta sikapnya yang reseptif dan akomodatif terhadap peradaban Barat, maka di kalangan sementara sahabat,murid, dan pengikut Abduh,seperti Ahmad Luthfi Sayyid,Thaha Husein,dan Ali Abd.al-Raziq, yang rata-rata telah mengenyam pendidikan Barat, berkembang kecenderungan ke arah Nasionalisme dan atau “sekularisme”. Dari tiga murid dan pengikut Abduh, Ali abd.al-Raziq adalah tokoh yang paling kontraversial dan karenanya juga paling populer. Popularitasnya disebabkan terutama karena buku yang ditulisnya pada tahun 1925 yang berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan prinsip-prinsip pemerintahan),sebagai reaksi akomodatif terhadap tindakan Mustafa Kemal Attaturk yang menghapus khalifah dan lembaga khilafah di turki pada tahun 1924.
Ali Abd.al-Raziq lahir pada tahun 1888 dan wafat pada tahun 1966 M.Dia lahir dan berkembang di Mesir, pada saat institusi khalifah dan khilfah islamiyah yang berpusat di Istanbul Turki diambang kehancurannya, dan Dunia Islam pada umumnya berada dalam hegemoni Barat dengan hingar bingar kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang telah dicapainya. Dia tumbuh di tengah wacana pembaharuan yang tengah menggelinding di Mesir ketika itu, sebagai koreksi Ummat Islam pada eksistensi lembaga Khalifah yang sebelumnya dipandang sebagai sebuah keharusan agama. Koreksi tersebut lahir sebagai sikap kritis atas kegagalan lembaga khalifah membebaskan ummat Islam dari keterbelakangan dan keterpurukan, bahkan dalam kurun sejarah tertentu,Lembaga ini telah melegalisasi praktek pemerintahan monarkhi absolut yang tiranik,dan despotik.”
Dia penganut Abduh, meskipun tidak sempat belajar banyak darinya secara langsung, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905, ia baru berusia sekitar tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan Agama di Universitas al-Azhar, kemudian melanjutkan studi di Oxford university Inggris, selama satu tahun. Ia seorang ilmuan agama dan seorang hakim pada Mahkamah Sayri’ah Mesir. Karena bukunya itu ia kemudian di kutuk dan dikucilkan oleh Majelis Ulama al-Azhar, diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim dan dilarang menduduki jabatan di pemerintahan.
Dalam konteks ini, ada sementara kesan bahwa buku Rasyid Ridha yang berjudul “al-Khilafah au al- Imamah al-Uzhma” ditulis Ridha sebagai reaksi kerasnya terhadap Ali al-Raziq. Kesan ini jelas keliru, karena buku tersebut merupakan kumpulan artikel artikel yang yang ditulis pada majalah al-Manar sejak tahun 1922, sedang buku al-Raziq baru ditulis pada tahun 1925. Memang reaksi Rasyid Ridha terhadap buku al Raziq sangat keras, tapi lebih disebabkan karena timing penerbitannya daripada gagasan yang dikemukakan dalam buku itu. Konon Ridha dengan serta merta menyerang Abd.al-Raziq sebelum sempat membaca bukunya. Sebabnya karena buku yang bernafas sekuler itu beredar ketika Ridha dan kawan kawannya dari al-Azhar tengah giat giatnya mempersiapkan Muktamar akbar Islam di Kairo dalam rangka menghidupkan kembali lebaga khalifah.Dan kemudian saham Ridha sangat besar dalam kampanye yang berakhir dengan pengutukan dan pengucilan Abd.al-Raziq oleh ulama al-Azhar.
Pandangan al-Raziq tentang hubungan antara Islam dan Negara,yang tetuang dalam bukunya Islam wa Ushul al-Hukm, di bagi dalam tiga bagian. Pada bagian pertama buku ini,diuraikan tentang defenisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, serta argumentasi yang beliu bangun tentang penolakannya terhadap pola pemerintahan khilafah. Bagian kedua buku ini, mengulas tentang Islam dan pemerintahan,yakni; perbedaan antara pemerintahan dan misi ( risalah ) kenabian, yang kemudian disimpulkan bahwa misi kenabian itu bukanlah pemerintahan, dan bahwa agama itu bukanlah negara. Bagian ketiga, menjelaskan tentang khilafah dalam lembaran sejarah. Dalam bagian ini al-Raziq mencoba mejelaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Arab,antara agama dan negara ( Politik ).
Dalam pandangan Ali Abd.al-Raziq, khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang kepala negara/pemerintah dengan gelar khalifah,nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan ummat, baik yang berdimensi keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib bagi ummat Islam untuk patuh dan taat sepenuhnya. Dia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama, bahwa mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban bagi ummat Islam yang mengandung pengertian dosa bagi yang tidak melaksanakannya. Terapat pengecualian,yaitu pada golongan mu’tazilah dan sementara orang khawarij. Mereka berpendirian bahwa tidak selalu harus mendirikan khilafah.Tugas khilafah adalah melaksanakan hukum dan peratuaran syariat. Kalau syarit telah berjalan dengan baik dan keadilan telah menjadi realitas sosial yang merata, maka tidak diperlukan lagi pemimpin atau imam,dan karenanya tidak ada kewajiban mempunyai khalifah. Ali Abd. Al-Raziq sama sekali tidak menemukan dasar yang kuat untuk mendukung kepercayaan bahwa wajib hukumya bagi ummat Islam untuk mempunyai khalifah,baik dalam al-Quran,hadist,maupun ijma.
Sementara pemikir Islam, termasuk Ridha, mendasarkan keyakinannya bahwa mendirikan khilafah itu termasuk tugas keharusan agama,atas petunjuk al-Qur’an surah al-Nisaa ayat 59 yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar taat kepada Allah, utusan ( Allah ) dan Ulil Amri mereka. Abd.al-Raziq, sebagaimana kebanyakan ahli tafsir, mengatakan ulil amri yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh umat Islam semasa hidup nabi dan sesudahnya, diantara para khalifah, para hakim,para komandan pasukan,dan bahkan para ulama. Ayat tersebut tidak dapat dipergunakan untuk mendukung pendapat bahwa mendirikan khilafah adalah hukumnya wajib. Dan dalam hadis nabi juga tidak diketemukan ungkapan-ungkapan yang mendukung pendapat tersebut. Memang Nabi pernah mengatakan bahwa pimpinan ( Ummat Islam ) itu agar dari suku Quraisy, bahwa barang siapa sudah berbaiat atau menyatakan kesetiaan kepada pimpinan, hendaknya ia selalu mematuhi segala perintahnya,selama tidak dalam kemaksiatan dan sebagainya. Tapi sekali lagi bahwa ucapan nabi itu tidak dapat sama sekali diartikan Islam mewajibkan ummatnya mendirikan khilafah. Abd.al-Raziq mengakui bahwa ijma’ adalah sumber hukum ketiga di dalam Islam setelah al-Qur’an dan hadist, tetapi menurutnya pengangkatan khalifah sejak Abu Bakar sampai pada zaman dia sendiri, tidak pernah dilakukan dengan Ijma’ yang berarti kesepakatan bulat dari segenap ummat Islam, Dalam pengamatannya, hampir semua khalifah dari zaman ke zaman dinobatkan dan dipertahankan dengan kekuatan fisik dan ketajaman senjata, dengan beberapa pengecualian, misalnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Terhadap alasan bahwa wajib atau harus ada yang diangkat menjadi khalifah demi melindungi kelestarian Islam dan kepentingan rakyat, Abd.al-Raziq berpandangan bahwa memang benar setiap kelompok manusia memerlukan pemimpin yang mengatur dan melindungi kehidupan mereka,terlepas dari agama dan keyakinan mereka,apakah Islam, Nasrani, atau yahudi, atau penganut agama yang lain, atau bahkan pada mereka yang tidak beragama sekalipun, karena kebutuhan akan kepemimpinan merupakan hal yang fitrawi dan berlaku universal. pemimpin ( Penguasa ) itulah pemerintah, tetapi pemerintahan itu tidak harus dalam bentuk khilafah, melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya, apakah konstitusional atau monarkhi absolut, apakah republik atau diktator, dan sebagainya.
Alur Argumentasi al-Raziq terkait dengan masalah pendirian khilafah, cukup sejalan dengan logika. Namun argumentasi yang dibangunnya terkait dengan asal legitimasi kekuasaan kepala negara dengan mengutip pemikir pemikir politik barat, terdapat kekeliruan dan kelemahan. Tampaknya al- Raziq keliru dalam mengutip Thomas Hobbes dan dan John Locke, dia mengemukakan bahwa terdapat dua aliran pemikiran yang saling bersinggungan tentang sumber kekuasaan negara, yakni : [1] Aliran Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa kekuasaan raja itu datang dari tuhan atau mandat ilahi. [2] Aliran john locke, bahwa kekuasaan raja datang dari rakyat melalui suatu kontrak sosial.
Pandangan beliau jelas keliru oleh karena Thomas Hobbes justru menolak gagasan bahwa kekuasaan raja itu berasal dari tuhan. Memang Hobbes berpandangan bahwa kekuasaan raja itu absolut, dan tidak bertanggung jawab pada siapapun, tetapi haknya yang absolut itu juga diperoleh dari sebuah kontrak sosial. Hanya saja kontrak sosial dalam versi Hobbes itu, lain dengan kontrak sosial dalam pandangan John locke. Kontrak sosial dalam pandangan John Locke adalah kontrak antara raja dengan rakyat, dan dari kontrak tersebut timbul hak dan kewajiban pada dua pihak yang terikat dalam kontrak secara timbal balik. Rakyat menyerahkan hak-haknya dan bersumpah setia untuk patuh pada rajanya, Sebagai imbalan raja menjanjikan bimbingan dan perlindungan serta pengelolaan negara sebaik baiknya. Sedangkan kontrak sosial versi Hobbes adalah suatu kontrak antara sesama rakyat , dan raja tidak ikut menjadi bagian dalam kontrak itu. Dengan kontrak itu rakyat sepakat untuk mengangkat seorang raja yang kemudian kepadanya rakyat menyerahkan segenap haknya,termasuk kebebasan, kepada raja dengan imbalan bimbingan, pimpinan, dan perlindungan. Oleh karena raja bukan bagian dari kontrak itu, maka dia tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Kekuasaannya absolut dan tidak harus mempertanggung jawabkannya kepada rakyat.
Hampir pada akhir bagian kedua dari bukunya Abd. Raziq menyimpulkan uraiannya dengan menyatakan bahwa : Nabi besar Muhammad saw. Adalah semata-mata utusan Allah Swt. Untuk menyebarkan agama murni tanpa maksud mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara, ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para nabi sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara, dan tidak pula mengajak ummat untuk mendirikan kerajaan duniawi.
Kesimpulan diatas merupakan inti dari pandangan politik Ali Abd. Al-Raziq. Berbeda dari uraiannya bagian pertama, yang lancar dan sejalan dengan logika, alur argumentasi dalam bagian kedua sebelum sampai kepada kesimpulan tersebut di atas, mengandung cukup banyak kelemahan, seperti yang di sinyalir oleh Munawir Sjadzali ;
1. Abd. al-raziq mengakui bahwa Nabi dahulu melakukan banyak hal yang lazim dilakukan oleh raja dan kepala negara, seperti mengadili sengketa, menjatuhkan pidana, menyatakan perang, mengangkat komandan ekspedisi militer serta berbagai macam penguasa di wilayah-wiayah yang baru ditaklukkan, seperti hakim dan penanggung jawab pengumpulan zakat atau pungutan lain. Tetapi menurut dia, penyelenggaraan pemerintahan pada zaman Nabi itu tiadak mengikuti suatu pola tertentu atau baku dan tidak sempurna. Khusus dalam pengelolaan wilayah-wilayah baru Nabi mengangkat pejabat-pejabat secara add hoc dan untuk jangka waktu tertentu. Lain dari pada itu mungkin kedengaran aneh, Abd al-Raziq mengemukakan bahwa pada zaman Nabi tiadak ada pengelolaan keuangan dan kepolisian “ sebagaimana lazimnya suatu negara”. Kiranya kita sependapat bahwa diselenggarakannya tugas-tugas pemerintahan dengan cara yang sangat sederhana tanpa mengikuti pola tertentu dan maju tidak berarti bahwa tidak ada pemerintahan pada waktu itu. Tidak adnya konsistensi Abd al-Raziq makin kentara dalam uraiannya pada bagian yang ketiga dari bukunya, dimana dia menyatakan bahwa negara yang dikepalai oleh Abu Bakar, sepeninggal Nabi, merupakan suatu ngara baru dan suatu organisasi politik, padahal cara-cara pengelolaan negara pada zaman pemerintahan Abu Bakar, belum banyak berbeda dari pada waktu Nabi memerintah. Lagi pula Abd al-Raziq mengutip ucapan Abu Bakar bahwa dalam memerintah dia hanya mengikuti saja yang (dahulu) dilakukan Nabi, dan bahwa dia tidak memperkenalkan cara-cara yang baru. Perubaha-perubahan yang berarti baru mulai dilakukan pad zaman Khalifah Umar bin Khattab, termasuk pengembangan Bait al-Mal atau perbendaharaan negara, dan pemberian tunjangan tetap kepada anggota-anggota “tentara tetap”.
2. Dalam kesimpulannya diatas, Abd al-Raziq menyatakan bahwa Muhammad “adalah Nabi semata seperti halnya para nabi sebelumnya”, sedangkan di halaman lain dia menyatakan bahwa walaupun sebagian besar dari para nabi sebelum Muhammad adalah nabi-nabi semata, tetapi terdapat juga nabi-nabi yang pada waktu yang sama juga menjadi raja atau kepala negara. Lain daripada itu untuk mendukung pendapatnya tentang pemisahan antara agama dan negara, Abd al-Raziq juga mengutip ucapan yang terknal dari Isa Al-Masih: “berikan kepada kaisar apa hak kaisar, dan berika kepada Tuhan apa hak Tuhan.” Tetapi tampaknya dia lupa bahwa petunjuk itu diberikan pada waktu ummat penganut Al-Masih merupakan rakyat terjajah dibawah dominasi penguasa asing dan penganut kepercayaan yang berbeda.
3. Abd al-Raziq mengutip puluhan ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa tugas Nabi terbatas pada berdakwah dan mengajak manusia agar mencari keselamatan duniawi dan ukhrawi dengan menerima Islam, dan Allah tidak memberikan hak kepada Nabi memaksa orang masuk Islam. Memang benar Islam menghormati kebebasan beragama. Tetapi seperti yang kita ketahui bersama, sekali seseorng menerima ajakan Nabi dan masuk Islam maka atasnya berlaku sekumpulan hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajibannya dalam hubungannya dengan tuhan dan hubungannya dengan sesama muslim serta sesama hidup sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota ikatan politik yang lebih luas. Untuk menjamin berlakunya segala peraturan itu, yang dalam Islam disebut syariah, yang memiliki keuasaan untuk memaksakan peraturan-peraturan atas mereka yang hendak menolaknya. Itulah yang dulu dilakukan oleh Nabi, dan yang lazimnya merupakan tugas dan kewenangan kepala negara. Singkatnya menurut Islam semua orang termasuk Nabi sendiri, harus menghormati kebebaasan orang lain untuk memilih agama. Tetapi sekali orang memilih Islam maka atasnya berlaku syariah Islam yang sebagian dari pelaksanaannya memerlukan campur tangan penguasa yang berhak memaksakan kehendaknya dan menjatuhkan sanksi sebagaimana lazimnya kepala negara; dan dalam periode Nabi di Madinah dahulu Nabi-lah penguasa yang dimaksud itu. Sementara itu Abd al-Rasiq juga memperlihatkan kesulitan dalam hal bagaimana memberikan pembenaran kepada perintah Al-Quran kepada Nabi supaya melakukan jihad fi sabilillah, yang yang diartikan perang di jalan Allah itu, oleh karena jihad dapat atau bahkan sering berarti penggunaan kekerasan. Bukankah menurut Abd al-Rasiq, Nabi tidak berhak memaksakan ajarannya?
4. Alasan lain yang dikemukakan oleh Abd al-Raziq ialah sabda Nabi: “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Tetapi seperti yang kita ketahui bersama, bahwa ungkapan itu diberikan oleh Nabi setelah nasihatnya kepada seorang petani tentang teknik pembudidayaan pohon kurma ternyata mngakibatkan pohon itu tidak bebuah. Memang dalam bidang teknik murni agama tidak hendak mencampuri. Tetapi kiranya Islam juga ikut mengatur kehidupan keduniaan antar sesama Muslim dan sesama makhluk dimana terdapat aspek moral dan etika.
Terlepas dari pro dan kontra pemikiran Ali Abd.al-Raziq di kalangan cendikiawan muslim, serta indikasi kelemahan-kelemahan gagasannya dalam lintasan cakrawala pemikiran Islam, Ali abd. Al-Raziq telah berhasil menancapkan diskursus tentang negara dan Islam, yang pada gilirannya kemudian mendorong proses rekonstruksi pemahaman Islam tentang negara dalam rangka menjawab tantangan kebutuhan modernitas di kalangan Ummat Islam.
Amin Rais dalam kata pengantarnya terhadap buku , Islam dan pembaharuan ; ensiklopedi masalah-masalah, mengapresiasi gagasan Ali Abd.al-Raziq, dalam potongan kalimatnya, beliau mengatakan “ Kita sepenuhnya setuju dengan kritik keras yang ia lontarkan pada praktek-praktek buruk dari institusi kekhalifahan , kesultanan, dan dan keemiratan dalam sejarah ummat Islam yang sebagian besar tidak mencerminkan ajaran Islam. Kita juga sepenuhnya setuju bahwa nabi adalah nabi,bukan raja yang tugasnya adalah memimpin negara. Namun Abd.al-Raziq tidak perlu membuat pemisahan kehidupan temporal dan non temporal, karena pemisahan diarkis seperti itu telah membawanya pada kesimpulan bahwa ajaran Islam ( Islam ideologis ) tidak perlu digunakan sebagai dasar pemecahan masalah-masalah sosial politik”.
C.RELEVANSI PEMIKIRANALI ABD.AL-RAZIQ DENGAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN DUNIA ISLAM KONTENPORER.
Pemikiran Ali Abd.al-Raziq, Telah mendorong lahirnya diskusi yang luas tentang Islam, negara Islam, dalam gelombang modernitas di dunia Islam. Dalam batas batas tertentu pikiran al-Raziq sering menjadi rujukan, ketika konstatasi kita di arahkan untuk melakukan rekonstruksi sosiologis- historis terhadap wacana kekuasaan politik Islam.
Dasar pemikiran setiap wacana Islam adalah bahwa setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi tanggung jawab agamanya, dan tanggung jawab agama yang terbesar adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Ibnu Taimimiyah , Dr.Abd Karim Zaidan, dan Fazlur Rahman, sama-sama sepakat bahwa Islam memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya. Karena dengan adanya negara kita akan lebih efektif dan lebih terkontrol dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam berbagai aspek yang melingkupinya.
Dari kajian yang agak cermat tentang Al-Qur’an dan karir Muhammad selama kerasulannya, sangatlah adil jika kita menyimpulkan bahwa dalam Islam harus disinari oleh wawasan moral sebagai salah satu indikator iman dalam konteks dan realitas sejarah. Sekalipun perjalanan Islam dalam berbagai periode dan di berbagai negara sering menghianati dan menodai cita cita politik Islam itu karena alasan yang dicari- cari, cita- cita itu tidak pernah lenyap dari benak para pemikir muslim sepanjang zaman, meskipun dengan ekspresi gagasan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa Islam itu bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasehat nasehat agama yang lepas begitu saja. Islam memerlukan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Di dalam pandangan Al-Qur’an,tidak secuilpun dari dimensi kehidupan manusia yang lepas dari sorotan wahyu. Dengan demikian maka pandangan yang sementara bergerak dalam ranah sejarah yang ingin memisahkan Islam dari wawasan kekuasaan, tidak memiliki landasan teoritis yang solid.
Al-Qur’an sangat banyak menyinggung tentang mesin kekuasaan, mesin kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah negara, yang juga berfungsi sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah mesin kekuasaan itu adalah perpanjangan tangan dari agama atau semata-mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan-pesan moral agama. Diantara pemikir muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab petanyaan ini. Amin Rais misalnya, memandang bahwa Islam itu adalah al-Din wa al-daulah, pendapat serupa juga banyak dianut oleh pemikir-pemikir muslim modern, diantaranya seperti Doktor Muhammad Yusuf Musa. Hal ini tergambar dalam bukunya yang berjudul Nidham al-Hukmi fi al-Islam.
Tapi kuatkah tesis ini? Dalam al-Qur’an dan Sunnah, Begitu pula dari piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu. Tetapi karena Islam memerlukan media pendukung ( negara ), maka Islam dengan ajarannya yang sempurna dan komperhensif, tidak mungkin ditancapkan dalam realitas sosial dan historis, tanpa sarana tersebut. Kita gagal memahami Islam, jika kita menempatkan Islam (al-Din ) yang berasal dari wahyu itu , sejajar dengan negara. Tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar menempatkan alat dengan risalah dalam posisi yang sama. Cara berpikir seperti ini menurut saya adalah cara berpikir tergesa gesa, yang boleh jadi dilatar belakangi oleh sikap chauvinisme dan penolakan berlebihan terhadap teori politik barat yang memisahkan gereja dan negara.
Keberatan kita yang lain terhadap teori bahwa Islam itu adalah agama dan negara, ialah bahwa Islam (al-Din) adalah sesuatu yang immutable ( Tetap ), sedangkan (negara) daulah adalah suatu yang mutable (Berubah ) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan kata lain, bahwa dengan menempatkan negara setaraf dengan Islam, berarti kita mengagungkan negara seperti kita mengagungkan agama. Fenomena ini mengingatkan kita pada teori Hegel yang memandang negara sebagai mahluk penaka tuhan ( a God like creature ).
Bila Islam membutuhkan kekuasaan untuk membumikan ajaran-ajarannya, maka selanjutnya muncul sebuah pertanyaan, bagaimana sistem kekuasaan itu dirumuskan? Diantara refleksi tauhid dalam hidup bermasyarakat ialah terwujudnya prinsip egaliter dalam kegiatan politik. Prinsip ini baru bisa dijalankan jika teori-teori keunggulan ras,suku bangsa, dan keturunan, dinyatakan bertentangan secara mutlak dengan ajaran Islam. Implikasi langsung dari tesis ini ialah bahwa sistem dinasti yang pernah dominan dalam perjalanan sejarah Islam masa lampau yang sisa-sisanya masih kita temukan sekarang, harus ditolak dengan tegas dan dikatakan sebuah penyimpangan yang disengaja dari prinsip egaliterian yang begitu gamblang diajarkan oleh Islam.
Berbicara tentang sistem dinasti, mengharuskan kita untuk menengok apakah sistem itu berasal dari Arab pra Islam atau muncul belakangan setelah Islam bergumul dengan peradaban Persia dan Bizantium. Dari sumber-sumber yang dapat kita peroleh, jelas menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra Islam adalah sebuah masyarakat yang bercirikan demokrasi. Tentang ini Dr. Hassan Ibrahim Hassan dkk. Dalam karyanya al-Nudhum al-Islamiyah, menulis bahwa pemerintahan kabilah bercorak demokratis .Dalam masyarakat itu terdapat majelis perwakilan kabilah. Dalam majelis inilah dimusyawarahkan dan diputuskan masalah masalah penting, seperti deklarasi perang atau penetapan perdamaian, atau perkara perkara yang dapat memicu gerak sistem kesukuan . Dengan demikian kata Hassan, gagasan tentang Syura telah ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Dan setelah Islam datang prinsip syurah ini kemudian diambil alih dan diberi dasar dan orientasi baru. Bila pada masa pra Islam konsep Syura didasarkan pada adat istiadat ( Urf ) kesukuan sejak zaman kuno, dan diserahkan untuk mengokohkan organisasi kesukuan, maka pada masa Islam pondasinya diganti dengan iman yang bernilai universal dan diarahkan untuk mewujudkan persaudaraan antar ummat manusia. Tegasnya di tangan Islam konsep syura telah di angkat dan dijadikan suatu sistem sosio-politik sebagai manifestasi dari prinsip egaliterian yang sering diberangus oleh keserakahan monarkhi absolut.
Berangkat dari tesis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi issu-issu penting tertentu harus berbeda dengan sistem dan model demokrasi yang berkembang di negara negara non muslim. Dalam perspektif ini, maka adalah sebuah ironi bila mana sampai hari ini negeri-negeri Islam masih saja bingung dalam mencari sistem politik yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan penegakan moral Islam. Wallahu a’lam bissawaab.








III.PENUTUP.
KESIMPULAN-KESIMPULAN.
Dari uraian-uraian tentang hubungan Islam dan negara,sebagai studi kritis atas pemikiran Ali Abd.Al-Raziq di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
• Islam tidak hanya dipahami sebagai ideologi semata-mata, tetapi juga sebagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang, baik sebagai institusi politik maupun budaya dan peradaban. Tingkatan capaian peradaban ummat islam sebagai realitas sosial, menurut saya selalu merupakan hasil intraksi antara ummat islam dengan Islam yang bermakna ideologis tadi. Dengan membaca realitas sejarah Islam, saya kemudia berpandangan bahwa”negara tidak dilahirkan di tengah-tengah masyarakat muslim dari generasi Islam pertama yang muncul dari revolusi ideologis, sosial, sekaligus politis, akan tetapi sebaliknya, ia dilahirkan oleh reaksi kuat atas konsepsi revolusioner agama Islam, dan oleh tampilnya kembali negara dalam bentuk sasanik ( Persia ) dan Bizantium ( Romawi ), yakni monarkhi absolut Muawiyah di Damaskus, serta keberhasilannya menundukkan agama dan mengembalikan tokoh tokohnya ke profesinya masing-masing di bawah naungan negara dan kekuasaannya.
• Alur Argumentasi Ali Abd.al-Raziq terkait dengan masalah pendirian khilafah, cukup sejalan dengan logika. Namun argumentasi yang dibangunnya terkait dengan asal legitimasi kekuasaan kepala negara dengan mengutip pemikir pemikir politik barat, terdapat kekeliruan dan kelemahan-kelemahan. Abd.al-Raziq tidak perlu membuat pemisahan kehidupan temporal dan non temporal, karena pemisahan diarkis seperti itu telah membawanya pada kesimpulan bahwa ajaran Islam ( Islam ideologis ) tidak perlu digunakan sebagai dasar pemecahan masalah-masalah sosial politik.
• Kita gagal memahami Islam jika kita menempatkan Islam (al-Din)yang berasal dari wahyu itu , sejajar dengan negara. Tesis seperti ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar menempatkan alat dengan risalah dalam posisi yang sama. Cara berpikir seperti ini menurut saya adalah cara berpikir tergesa gesa,yang boleh jadi dilatar belakangi oleh sikap chauvinisme dan penolakan berlebihan terhadap teori politik barat yang memisahkan gereja dan negara.
• Diantara refleksi tauhid dalam hidup bermasyarakat ialah terwujudnya prinsip egaliter dalam kegiatan politik. Prinsip ini baru bisa dijalankan jika teori-teori keunggulan ras,suku bangsa, dan keturunan, dinyatakan bertentangan secara mutlak dengan ajaran Islam. Implikasi langsung dari tesis ini ialah bahwa sistem dinasti yang pernah dominan dalam perjalanan sejarah Islam masa lampau yang sisa-sisanya masih kita temukan sekarang, harus ditolak dengan tegas dan dikatakan sebuah penyimpangan yang disengaja dari prinsip egaliterian yang begitu gamblang diajarkan oleh Islam.
• di tangan Islam konsep syura telah di angkat dan dijadikan suatu sistem sosio-politik sebagai manifestasi dari prinsip egaliterianisme yang sering diberangus oleh keserakahan monarkhi absolut. Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi issu-issu penting tertentu harus berbeda dengan sistem dan model demokrasi yang berkembang di negara-negara non muslim.















DAFTAR PUSTAKA

Ahmed an-Na’im,Abdullah, Islam dan negara Sekuler,Menegosiasikan Masa Depan Syriah.Cet.I Bandung : Mizan, 2007
Al-Zamahsyariy, Asas al-Balagah. Bairut:Darul Fikri ,1989. Dhiyauddin Umari, Akram,Madinan society at the time of the prophet,diterjemahan oleh Mun’im A.Sirry dengan judul Masyarakat Madani; Tinjauan historis kehidupan zaman nabi. Cet.III,Jakarta : Gema Insani Press, 2000
Effendi,Mochtar,Ensiklopedi Agama dan filsafat,Jilid II . Cet.I,Palembang : Universitas Brawijaya,2001 .
Esposito,John,Islam and Development ; Religion and sociopolitical change, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, degan judul, Identitas Islam pada perubahan sosial politik. Cet.I,PT Bulan Bintang : Jakarta,1989 .
Hassan Ibrahim Hassan, al-Nudhum al-Islamiyah. Kairo :Wizara al- Ma’arif al- Umumiyah,1953 .
Hassan Ibrahim Hassan, Islamic and culture,from 632-1968, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan judul, Sejarah dan kebudayaan Islam ; 632- 1968. Cet.I, Yogyakarta : Kota kembang,1989 .
Ibnu Manzur,Lisan al- Arab. Mesir: Dar al-Misriyah li al-ta’lif wa al- tarjamah,tt .
L.Esposito,John,at.al, Identitas Islam pada perubahan sosial politik, Cet.I, Jakarta : Bulan Bintang,1985 .
Latif, Yudi, intelegensia Muslim dan kuasa; intelegensia muslim indonesia abad ke-20. Cet.I,Bandung : Mizan, 2005.
Ma’luf,Luis,al-Munjid fi al-lugah wa al-A’lam.Bairut: Dar al-Masyriq,1975.
Maarif,A.Syafii,Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Cet.I, Bandung : Mizan,1993 .
Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, diterjemahkan oleh george Allen dan Unwin dengan judul, The Theology of unity. Kenneth Cragg : 1966 .
Musa,Muhammad Yusuf,Nidham al-Hukmi fi al-Islam. Al-Qahirah : Darul ma’arif,1964 .
Nasution, Harun,Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,jilid I. Cet V, Bandung : Mizan,1997
Nasution,Harun, Islam Rasional gagasan dan pemikiran. Cet.IV, Bandung : Mizan,1996.
Nasution,Harun,Pembaharuan dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan. Cet.X,PT.Bulan Bintang : Jakarta,1994.
Rais, Amin,Cakrawala Islam. Cet.VII. Bandung : Mizan,1996.
Rais,M.Amin, Negara dan Masyarakat dalam sistem regio politik Islam, Makalah, disampaikan dalam diskusi, Konsep negara dalam Islam. di Fakultas Hukum UII,4 Oktober 1987.
Rejai,Mustafa,Nationalism East and West, dalam Reo M.Cristenson et al,Ideologis and modern politc New .York : Dodd,Mead &Company,1975.
Sadjzali,Munawir,Islam dan tata negara, ajaran, sejarah, dan pemikiran. edisiV,UI-Press: Jakarta,1993.
Unais, Mu’jam al-Wasith. Jilid I, Kairo : Dar al-Maarif 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar