Minggu, 26 Juli 2009

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG HUBUNGAN NEGARA DENGAN AGAMA

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG HUBUNGAN
NEGARA DENGAN AGAMA

I PENDAHULUAN.
A.LATAR BELAKANG.
Salah satu karakteristik Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu adalah suatu sistem yang mengatur cara hidup manusia secara lengkap dan menyeluruh. Kenyataan ini tergambar dalam perkembangan hukum Islam yang yang serba mencakup,baik yang berdimensi ubudiyah maupun muamalah.Karena itu ajaran Islam dipahami sebagian besar ummat Islam sebagai sistem normatif, di mana Agama berhubungan secara integral dengan segala bidang kehidupan ummat Islam,seperti politik,ekonomi,sosial,hukum,pendidikan, dan keluarga.
Peradaban Islam yang pernah mempesonakan masyarakat dunia kurang lebih dua belas abad lamanya lantaran ajarannya yang universal, perluasannya yang sangat cepat, dan warisan budayanya yang sangat kaya, sejak abad ke-17 hingga sekarang, tampaknya mengalami tantangan yang paling berat, baik dibidang politik maupun idiologi. Hal ini diakibatkan oleh degenerasi ideologis dalam waktu yang lama dalam kehidupan ummat Islam. Degenerasi aqidah tersebut melahirkan degenerasi sosio-moral, sosio- politik, dan dekadensi etnik. Serta bermuara pada kaburnya identitas dan harga diri ummat Islam. Sistem kerajaan yang eksploitatif, tiranik dan absolut, kemudian ditolerir oleh kaum muslimin. Ketidak adilan sosial sebagai sesuatu yang paling dikutuk dalam Islam-pun menjadi suatu hal yang biasa- biasa saja dalam masyarakat muslim. Kondisi ini kemudian menjadi jalan yang lapang bagi eksisnya kolonialisme Barat di dunia Muslim.
Berangkat dari masalah keterpurukan dan keterbelakangan yang dihadapi dunia Islam itu, maka pada awal abad ke-dua puluh,dunia islam kembali menggeliat menerjemahkan dirinya yang “kumuh”,dengan tampilnya pembaharu- pembaharu Islam modern seperti Jamaluddin al Afghani,Mohammad Abduh, Hasan al Banna, mohammad Iqbal, dan lain lain, “yang menjadikan Barat sebagai stimulan”modernisasi. Tema- tema sentral yang menjadi pusat perhatian para pemikir pembaharuan Islam itu adalah; Hubungan antara iman dan ilmu atau antara keyakinan dan akal, Islam dan keadilan sosial,ekualitas antara pria dan wanita,pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat , hubungan antara agama dan negara,pembaharuan hukum,ajaran islam di bidang ekonomi,dan komitmen Islam dalam kemajuan pendidikan.
Hal yang sangat sensitif dalam tradisi intelektual islam adalah masalah hubungan agama dan negara. Persoalan ini telah melahirkan perdebatan berkepanjangan dalam tradisi intelaktual Islam di masa modern, dan mencapai puncaknya setelah negara- negara muslim berhasil melepaskan dirinya dari belenggu dan cengkeraman kolonial. Perdebatan tersebut terkait dengan urgensi negara Islam bagi tegaknya moralitas dan cita cita sosial politik Islam; yakni suatu konstruksi negara yang menjamin ideologi Islam dapat diterapkan secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini terjadi hampir di semua negara muslim, termasuk di Indonesia.
Di permukaan, pertentangan yang terjadi bersifat politis, tetapi ketika kita menyelami lebih dalam, maka kita akan menemukan bahwa pertentangan ini lebih bersifat ideologis dan budaya, dan dia hanya dapat dipahami dengan perspektif yang lebih luas. Meskipun kontak peradaban Islam dan Barat baru terjadi pada abad ke tujuh belas , dan memasuki fase yang paling gawat pada abad ke sembilan belas dan dua puluh, Dalam kurun waktu terakhir ini supremasi politik muslim benar-benar berada dalam tantangan. Di bawah lindungan imprialisme, pendidikan dan tekhnologi barat menyusupi dunia Islam, yang berakibat langsung pada munculnya gagasan- gagasan dan teknik baru yang mulai dianut oleh ummat Islam. Menyikapi hal ini, maka muncul tiga kecenderungan reaksi di kalangan Islam, yakni : [1] kelompok konservatif-Revivalis yang mencari “suaka” ke tradisi lama,[2] Kelompok modernis yang cenderung meniru barat,[3] neo Modernis (post modernis) yang cenderung melakukan harmonisasi agama dengan trend globalisasi,meskipun tidak memiliki formasi intelektual yang tegas.
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Seperti apa gagasan Islam tentang hubungan agama dan negara.
2. Bagaimana pola interaksi Islam dan negara pada masa modern.
3. Seperti apa pola interaksi ideal Islam dan negara di Indonesia ke depan.
II.PEMBAHASAN MASALAH.
A.KERANGKA TEORITIS TENTANG ISLAM DAN NEGARA.
Karena pokok masalah dalam makalah ini adalah hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat, maka sangat penting untuk mengklarifikasi makna dari istilah-istilah yang terkait dengan tema ini.
Dalam kamus bahasa Arab,ditemukan bahwa akar kata Islam dalam bahasa Arab adalah Sin-Lam-Mim. Secara umum kata ini mempunyai dua kelompok makna dasar, yaitu: (1) Selamat, bebas ,terhindar,terlepas dari,sembuh,dan meninggalkan. (2) Tunduk,pasrah,patuh,dan menerima. Kedua kelompok makna kata ini terkait satu sama lain. Salima juga berarti murni, seperti dalam ungkapan Salima lahu asya’a, artinya sesuatu itu murni miliknya, yakni bebas dari persekutuan dengan orang lain. Dalam kaitan ini , maka kata Aslama juga berarti akhlasa ad-dina lillah, yakni memurnikan kepatuhan hanya kepada Allah.
Secara terminologi, terdapat rumusan pengertian yang beragam tentang makna Islam. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dikemukakan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diperintahkannya untuk mengajarkan pokok-pokok serta peraturan peraturannya kepada nabi Muhammad SAW dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan megajak mereka untuk memeluknya. Selanjutnya, Harun Nasution mendefenisikan ,Islam adalah agama yang ajaran ajarannya diwahyukan tuhan kepada masyarakat manusia melalui Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran ajaran yang mengatur berbagai segi dari kehidupan manusia, dan sumber dari ajaran tersebut adalah al-Qur’an dan Hadist.
Dari gambaran di atas, maka umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan nabi Muhammad SAW,antara 610-632 Masehi, yakni manakala beliau menyampaikan Al-Qur’an,dan menguraikan makna yang dikandung serta implikasi implikasinya secara terperinci melalui tutur kata, tindakan dan kebijakan kebijakan, serta perbuatan perbuatan beliau, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunnah Nabi dalam literatur Islam. Sehubungan dengan pengertian di atas, maka Al-Qur”an dan sunnah Nabi beserta konsep konsep turunan dan ajektiva yang digunakan, bagi ummat Islam merupakan dasar dari pengertian Islam. Keduanya adalah sumber rukun Iman, praktek ritual, ajaran moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh setiap muslim. Di samping itu, Al-Qur’an dan Sunnah nabi juga adalah pedoman bagi ummat Islam dalam mengembangkan relasi sosial dan politik, serta norma-norma dan institusi hukumnya. Pengertian Islam yang seperti ini, diyakini dan dijadikan acuan oleh mayoritas ummat Islam dalam kehidupan sehari hari guna membimbing perkembangan spiritual dan moral mereka menuju apa yang dikehendaki tuhan untuk umat manusia di dunia ini. Dari perspektif inilah saya mencoba membingkai persoalan persoalan ini dalam kaitannya dengan institusi negara.
Istilah Syariah juga sering digunakan dalam wacana Islam hari ini, seolah-olah kata ini sinonim dengan kata Islam, yakni sebagai totalitas kewajiban keagamaan ummat Islam, baik dalam pengertian personal maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan sosial, politik, dan hukum. Namun prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang diaplikasikan dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu Islam tidak hanya Syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid. Syariah adalah koridor dalam ber-Islam, meski tidak harus menutup habis pintu pintu pengetahuan dan pengalaman manusia dalam menegakkan ajaran Islam.
B. DISKURSUS PEMIKIRAN ISLAM TENTANG DIALEKTIKA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA.
Dasar pemikiran setiap wacana Islam adalah bahwa setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi tanggung jawab agamanya, dan tanggung jawab agama yang terbesar adalah amar ma’ruf nahi mungkar . Ibnu Taimimiyah , Dr.Abd Karim Zaidan, dan Fazlur Rahman, sama-sama sepakat bahwa Islam memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya. Karena dengan adanya negara, kita akan lebih efektif dan lebih terkontrol dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam berbagai aspek yang melingkupinya.
Dari kajian yang agak cermat tentang Al-Qur’an dan karir Muhammad selama kerasulannya, sangatlah adil jika kita menyimpulkan bahwa dalam Islam harus disinari oleh wawasan moral sebagai salah satu indikator iman dalam konteks dan realitas sejarah. Sekalipun perjalanan Islam dalam berbagai periode dan di berbagai negara sering menghianati dan menodai cita cita politik Islam itu karena alasan yang dicari- cari, cita- cita itu tidak pernah lenyap dari benak para pemikir muslim sepanjang zaman, meskipun dengan ekspresi gagasan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa Islam itu bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasehat nasehat agama yang lepas begitu saja. Islam memerlukan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Di dalam pandangan Al-Qur’an,tidak secuilpun dari dimensi kehidupan manusia yang lepas dari sorotan wahyu. Dengan demikian maka pandangan yang sementara bergerak dalam ranah sejarah yang ingin memisahkan Islam dari wawasan kekuasaan, tidak memiliki landasan teoritis yang solid.
Al-Qur’an sangat banyak menyinggung tentang mesin kekuasaan, mesin kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah negara, yang juga berfungsi sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah mesin kekuasaan itu adalah perpanjangan tangan dari agama atau semata mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan-pesan moral agama. Diantara pemikir muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab petanyaan ini. Amin Rais misalnya,memandang bahwa Islam itu adalah al-Din wa al-daulah, pendapat serupa juga banyak dianut oleh pemikir-pemikir muslim modern, diantaranya seperti Doktor Muhammad Yusuf Musa. Hal ini tergambar dalam bukunya yang berjudul Nidham al-Hukmi fi al-Islam.
Tapi kuatkah tesis ini? Dalam al-Qur’an dan Sunnah, Begitu pula dari piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu. Tetapi karena Islam memerlukan media pendukung ( negara ) maka Islam dengan ajarannya yang sempurna dan komperhensif, tidak mungkin ditancapkan dalam realitas sosial dan historis, tanpa sarana tersebut. Kita gagal memahami Islam ,jika kita menempatkan Islam (al-Din ) yang berasal dari wahyu itu , sejajar dengan negara. Tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar menempatkan alat dengan risalah dalam posisi yang sama. Cara berpikir seperti ini menurut saya adalah cara berpikir tergesa gesa,yang boleh jadi dilatar belakangi oleh sikap chauvinisme dan penolakan berlebihan terhadap teori politik barat yang memisahkan gereja dan negara.
Keberatan kita yang lain terhadap teori bahwa Islam itu adalah agama dan negara, ialah bahwa Islam (al-Din) adalah sesuatu yang immutable ( Tetap ), sedangkan (negara) daulah adalah suatu yang mutable ( Berubah )sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan kata lain, bahwa dengan menempatkan negara setaraf dengan Islam, berarti kita mengagungkan negara seperti kita mengagungkan agama. Fenomena ini mengingatkan kita pada teori Hegel yang memandang negara sebagai mahluk penaka tuhan ( a God like creature ).
Bila Islam membutuhkan kekuasaan untuk membumikan ajaran-ajarannya, maka selanjutnya muncul sebuah pertanyaan bagaimana sistem kekuasaan itu dirumuskan? Diantara refleksi tauhid dalam hidup bermasyarakat, ialah terwujudnya prinsip egaliter dalam kegiatan politik. Prinsip ini baru bisa dijalankan jika teori-teori keunggulan ras,suku bangsa, dan keturunan, dinyatakan bertentangan secara mutlak dengan ajaran Islam. Implikasi langsung dari tesis ini ialah bahwa sistem dinasti yang pernah dominan dalam perjalanan sejarah Islam masa lampau yang sisa-sisanya masih kita temukan sekarang, harus ditolak dengan tegas dan dikatakan sebuah penyimpangan yang disengaja dari prinsip egaliterian yang begitu gamblang diajarkan oleh Islam.
Berbicara tentang sistem dinasti, mengharuskan kita untuk menengok apakah sistem itu berasal dari Arab pra Islam atau muncul belakangan setelah Islam bergumul dengan peradaban Persia dan Bizantium. Dari sumber sumber yang dapat kita peroleh jelas menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra Islam adalah sebuah masyarakat yang bercirikan demokrasi. Tentang ini Dr. Hassan Ibrahim Hassan dkk. Dalam karyanya al-Nudhum al-Islamiyah, menulis bahwa pemerintahan kabilah bercorak demokratis .Dalam masyarakat itu terdapat majelis perwakilan kabilah. Dalam majelis inilah dimusyawarahkan dan diputuskan masalah masalah penting, seperti deklarasi perang atau penetapan perdamaian, atau perkara perkara yang dapat memicu gerak sistem kesukuan . Dengan demikian kata Hassan, gagasan tentang Syura telah ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Dan setelah Islam datang prinsip syurah ini kemudian diambil alih dan diberi dasar dan orientasi baru. Bila pada masa pra Islam konsep Syura didasarkan pada adat istiadat ( Urf ) kesukuan sejak zaman kuno, dan diserahkan untuk mengokohkan organisasi kesukuan, maka pada masa Islam pondasinya diganti dengan iman yang bernilai universal dan diarahkan untuk mewujudkan persaudaraan antar ummat manusia. Tegasnya di tangan Islam konsep syura telah di angkat dan dijadikan suatu sistem sosio-politik sebagai manifestasi dari prinsip egaliterian yang sering diberangus oleh keserakahan monarkhi absolut.
Berangkat dari tesis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi issu-issu penting tertentu harus berbeda dengan sistem dan model demokrasi yang berkembang di negara negara non muslim. Dalam perspektif ini, maka adalah sebuah ironi bila mana sampai hari ini negeri-negeri Islam masih saja bingung dalam mencari sistem politik yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan penegakan moral Islam.
Terkait dengan kajian kita hari ini, maka saya merasa perlu mengklarifikasi bahwa Islam tidak bisa hanya dipahami sebagai ideologi semata mata, tetapi juga sebagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang, baik sebagai institusi politik maupun budaya dan peradaban. Tingkatan capaian peradaban ummat islam sebagai realitas sosial, menurut saya selalu merupakan hasil intraksi antara ummat islam dengan Islam yang bermakna ideologis tadi.
Dalam makalah ini saya mecoba mengulas tentang kaitan antara Islam sebagai akidah monotheistik yang holistik dengan problematika yang mengemuka dalam konstruksi negara ( sebagai institusi yang mereferensi masyarakat dengan segenap hak dan kewajiban dengan penguasaan wilayah-teritorial dan ruang publik ) sebagai lokus analisis, tanpa mengesampingkan gagasan tentang penomena islam dan negara saat ini.
Dalam menganalisis masalah ini, saya ingin mengajukan catatan yang menurut saya penting, bahwa problem perseteruan antara agama dan Negara tidak pernah muncul dalam agama agama apapun sebelum agama monotheisme. Namun sejak agama-agama monotheisme muncul, ia telah menjadi problem besar dalam Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dari situ saya melihat bahwa penyebab konflik tersebut terkandung di dalam kenyataan bahwa agama monotheis pada dasarnya tumbuh di tengah konflik melawan rezim perbudakan yang telah mencapai titik kulminatif, lalu berubah menjadi rezim represif ( meninggalkan sama sekali prinsip prinsip moral dan etika ). Dari sini, Agama monotheis telah membentuk revolusi pengalaman spiritual bagi eksisnya humanisme, sebab agama monotheismelah yang pertama kali melakukan pemisahan diri dari otoritas politik dan mereformulasi aspek kesakralan dan kespiritualan di luar koridor otoritas dan kekuasaan, yaitu dunia metafisis hegemonik yang berdiri di atas negara dan mendominasinya. Akhirnya agama tampil menjadi sebuah otoritas spiritual sejati yang independen, lepas dari otoritas politik, berselisih dengannya dan bahkan terkadang memusuhinya. Hal ini karena otoritas kaum agamawan untuk pertama kalinya terpusat pada otoritas ketuhanan yang tidak memerlukan legitimasi dari raja ataupun negara. Dan, tidak mungkin negara mampu mengendalikan atau memaksa mereka untuk tunduk dan patuh pada parameter parameternya. Sebab, agama lahir sebagai pemegang otoritas yang sejajar atau bahkan melebihi otoritas profan setelah sebelumnya ia hanya dijadikan alat oleh otoritas profan dan penguasa yang refresif.
Hasil dari perubahan ini, akan tampak pada pergantian model hubungan antara agama dan negara, dan selanjutnya dapat dibuktikan dengan melemahnya posisi negara sebagai akibat dari munculnya komunitas sosial ( Jama’ah )yang menyaingi atau bahkan melampaui negara. Jama’ah adalah konsep dan konstruksi baru yang tumbuh bersama agama yang membangun pola hubungan antar individu atas dasar prinsip persaudaraan seakidah dan menjadikan hubungan sosial tersebut sebagai manifestasi pengalaman keimanan sebagaimana ia menjadikan iman sebagai pengalaman spiritual, personal,internal, dan sekaligus sumber perekat dan chauvinisme sosial.
Itulah asal mula munculnya problem sekularisme dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dan negara. Oleh karena itu tidak mungkin merekonstruksi negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan absolut, tanpa kooptasi otoritas diatasnya kecuali dengan tiga kondisi: [1] Merombak dasar dasar kerja negara, fungsi,serta posisinya dalam masyarakat dan sistem sosial secara umum. [2] Mendekonstruksi otoritas kekuasaan baru yang di besarkan oleh agama dan menempatkan afiliasi pada jama’ah agama akan kesetiaan pada kekuatan tuhan lebih utama daripada kesetiaan pada penguasa politik dan kekuatan materi. [3] merombak keduanya sekaligus. Gagasan inilah yang kemudian berhasil dengan gemilang diaktualkan masyarakat barat dalam melakukan rekonstruksi radikal negara pada Yudaisme dan kristen yang melahirkan blunder sekularisme dan pemisahan otoritas agama ( gereja ) dengan otoritas profan di dunia barat.
Dengan membaca realitas sejarah Islam, saya kemudia berpandangan bahwa”negara dalam konsepsi Islam seperti yang kita kenal hari ini, tidak dilahirkan di tengah-tengah masyarakat muslim dari generasi Islam pertama yang muncul dari revolusi ideologis, sosial, sekaligus politis, akan tetapi sebaliknya, ia dilahirkan oleh reaksi atas konsepsi revolusioner agama Islam dengan tampilnya kembali negara dalam bentuk sasanik ( Persia ) dan Bizantium ( Romawi ), yakni monarkhi absolut Muawiyah di Damaskus, serta keberhasilannya menundukkan agama dan mengembalikan tokoh tokohnya ke profesinya masing-masing di bawah naungan negara dan kekuasaannya.
Sebagai bukti atas pandangan ini, saya ingin mengemukakan sebuah analisis historis atas peristiwa perang saudara yang dikenal dalam sejarah Arab Islam sebagai al-fitnah al-Kubra ( Kerusakan terbesar ) yang berlangsung selama lima tahun. Buah dari tragedi ini, menurut saya adalah munculnya perpecahan riil yang pertama dalam komunitas masyarakat Islam, dan lahirnya negara dalam arti pemaksaan pemaksaan penguasa tunggal dan politikus yang otoriter. Kemenangan negara atas agama ini dibarengi oleh sejumlah fenomena yang tidak mungkin disalah tafsirkan maknanya jika benar benar mengamatinya. Misalnya : [1] Penuntasan secara menyeluruh api fitnah pada generasi sahabat pertama dan naiknya generasi panglima meliter menggantikan mereka,[2] Terbentuknya kelas politik baru yang berangkat dari penghidupan kembali sistem hirarki sosial dan aristokrasi tribalisme jahiliyah ( Keluarga besar Umawiyah ) menggantikan posisi keluarga besar nabi yang memasuki babak panjang penindasan dan pemberangusan, [3] Perombakan risalah agama menjadi nota perundang undangan yang diterapkan di bawah kendali negara sesuai dengan kebutuhan politik,[4] Perombakan otoritas keagamaan dan spiritual menjadi menjadi spesialisasi intelektual yang termanifestasi dalam golongan ulama agama dan ahli fiqhi. Dengan demikian penundukan warisan nabi pada kepentingan kepentingan negara dan kebutuhan kebutuhannya, merupakan prasyarat bagi dibangunnya kembali suatu negara pada lahan kosong dengan prinsip prinsip yang baru.
Dengan demikian, untuk pertama kalinya negara baru tersebut, harus berintraksi dengan komunitas ( jama’ah ) yang memiliki spirit, kerangka berfikir, ideologis, dan kepanatikan ( chaufinisme ) yang khas. Selain itu ia juga harus mengakui independensi masyarakat, yakni ( negara ) harus menerima pembatasan otoritas pemerintahan pada bidang kekuasaanya,meskipun ia belum mengenal konsep pendefenisian cara menjalankan otoritas kekuasaan pada bidang bidang pelaksanaanya. Maka dalam rangka melanggengkan eksistensinya, negara membutuhkan legitimasi moral agama. Meskipun demikian, karena pada negara tersimpul makna penguasaan teritorial dan ruang publik, maka negara dalam hal ini memiliki power dan otoritas yang bersifat koersif ( memaksa ). Terkait dengan ini, maka Islam sebagai sebuah risalah ( Mission ), dalam pendekatan sosiologis juga mebutuhkan sarana otoritas untuk mengaktualisasikan ajaran- ajarannya, agar tetap eksis dalam memberi bingkai moral terhadap segenap kebijakan negara dalam rangka melahirkan maslahat bagi ummat manusia.
Begitulah ( Sejarah ) tumbuhnya negara Islam, sebagai produk balance antara logika jama’ah yang dibentuk agama dan logika negara yang diterapkan dengan kalkulasi- kalkulasi geo-politik dan politik. Negara Islam dilahirkan dengan proses kekaisaran yang didalamnya harus dirumuskan kembali posisi negara dan posisi agama serta perombakan konsep negara dan konsep agama. Sejarah negara negara Islam selalu berkutat di seputar keseimbangan antara kekuatan jamaah dan kekuatan negara, serta antara kesepahaman dan permusuhan sesuai dengan tahapan sejarah serta pembentukan komunitas sosial sampai pada masa modern, dan dipahami sebagai bagian dari kewajiban dalam Islam untuk menegakkannya.
Hadirnya modernisme sebagai buah dari renaissance dan revolusi industri di dunia barat, menyisakan masalah dan tantangan-tantangan baru di dunia Islam. Intraksi model baru antara Barat dan Islam, kemudian mendorong lahirnya gerakan redefenisi dan rekonstruksi pemahaman keislaman,termasuk didalamnya melakukan penelusuran tehadap kemungkinan kemungkinan Al-Qur’an dan Hadist nabi memberi legitimasi normatif- teologis, terhadap tema tema bias modernisasi tersebut, seperti: liberalisme, sekularisme, equivalenisme, demokrasi, dan lain lain, di kalangan reformis ( Pembaharu ) Islam, meskipun dalam banyak hal proses redefenisi tersebut relitasnya banyak dipengaruhi oleh metodelogi berfikir Barat.
C.LIBERALISME,SEKULARISME, DAN ‘FUNDAMENTALISME'; REALITAS HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA HARI INI.
Di Barat, modernisme, liberalisme,dan sekularisme’ berjalan seiring. Ketiga pemikiran ini menjadi solusi bagi masyarakat Barat untuk berkembang menjadi maju dan modern. Hal disebabkan karena mereka telah menderita akibat pemerintahan “kuku besi” Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan doktrin Gereja yang diyakini berasal dari Tuhan. untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi.
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.
Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.
Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present Age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur”.
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai berikut:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan), atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.
Dalam perspektif sosio-historis, sekularisme lahir di Eropah, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
[1] pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.[2] pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (world view/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, lebih dominan dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara faktor eksternal dan perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Pengaruh eksternal itu dapat ditelusuri dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988).
Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian.(Greg Barton,1999).
Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim,Nurcholish Madjid,Emha ainun Nadjib, K.H.Mustafa Bisri, Ahmad Syafi’I Maarif, Azyumardi Azra,dan lain lain, menjadi transmisi pemikiran Islam yang relatif akomodatif terhadap nilai nilai demokrasi, seperti kebebasan,partisipasi,kesejahteraan,keadilan,dan pluralisme,yang menjadi sangat npenting bagi pertumbuhan masyarakat sipil saat ini.
Pada bagian yang lain, realitas modernisasi, liberalisasi, dan sekularisasi di dunia Islam di sikapi dengan reaksi penolakan keras atas realitas tersebut. Komunitas ini kemudian dikenal dengan kelompok Fundamentalis Islam. Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993) .
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:
The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).
Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim, yaitu: [1]Orang yang membenci Barat,[2] orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara, [3] orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam, [4] orang yang ingin membina kembali peradaban Islam, [5] orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau.(ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
D.DIALEKTIKA ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA.
Tak seorangpun dapat menyangkal bahwa dalam dua abad terakhir ini, pada satu sisi Muslim Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat pesatnya modernisasi dan sekularissasi yang mengubah aspek-aspek pundamental dalam sistem religio-politiknya. Pada sisi yang lain juga merupakan suatu realitas, bahwa Islam semakin eksis dalam mengisi ruang publik masyarakat Indonesia, dan terbentuknya kembali partai-partai politik massa yang berideologi Islam. Kondisi ini melahirkan sebuah pertanyaan, apakah hal ini berarti bahwa proses sekularisasi itu hanya superfisial, dan nilai-nilai serta kesadaran religius hanya dapat di pandang sebagai bentuk institusional yang berbeda? Saya memandang bahwa kedua hal tersebut,( Sekularisasi dan Islamisasi ) dalam masyarakat dan negara Indonesia berlangsung secara simultan.
Dialektika sekularisasi dan Islamisasi dalam konstruk hubungan agama dan negara terus menjadi gambaran utama dari proses politik yang berkembang di Indonesia dalam kurun waktu sejarah yang panjang. Dan hasil akhirnya, setidaknya dalam waktu dekat ini tidak akan menjadi ‘’ini atau itu’’(Sekularisasi total atau islamisasi total). Bagi kedua kutub tersebut, memiliki arena dan senjatanya masing-masing untuk bisa bertahan. Sejauh ini , sekularisasi dapat didefisikan dalam empat karakteristik utamanya: [1]sekularisasi pemisahan masyarakat dan negara; yakni pemisahan agama dengan politik. [2] sekularisasi ekspansi masyarakat-negara;yakni, perluasan otoritas negara pada aspek aspek yang sebelumnya dikuasai oleh masyarakat atau agama dengan menciptakan ikatan ikatan institusional baru untuk dapat mengontrol agama, seperti sekularisasi hukum,pendidikan,struktur sosial dan ekonomi.[3] transvaluasi masyarakat-negara; yakni, sekularisasi budaya politik dengan maksud menjadikan nilai nilai agama tidak lagi menjadi jangkar budaya politik yang kuat posisinya,dan perlahan diambil alih oleh nilai-nilai sekuler politik nasional. Hal ini tergambar dari sekularisasi basis legitimasi dan identitas kelompok. [4] sekularisasi dominasi masyarakat-negara; yakni, pemaksaan ideologi sekular negara sebagai upaya menghancurkan basis-basis politik keagamaan atau menghapus eksistensi agama sama sekali.
Proses sekularisasi pertama dan kedua dapat diamati berjalan dengan sukses di seluruh wilayah Indonesia, sedang proses ketiga telah dan sedang berjalan meski masih jauh dari berhasil. Sedang proses keempat, tidak terjadi di Indonesia. Karakteristik pertama dan keduaa dipaksakan secara luas nuntuk berlangsung pada masysrakat Islam, karana prosesnya dapat dipaksakan berlangung oleh elite penguasa atas nama modernisasi, meskipun tanpa persetujuan massa. Karakteristik sekularisasi yang ketiga jauh lebih rumit, sebab melibatkan perubahan nilai secara luas yang tidak dapat diarahkan berlangsung secara efektif oleh elite penguasa dalam waktu yang singkat. Sementara solidaritas Islam dan pengaruh politiknya yang masih kuat, menyebabkan elite penguasa sekular tidak dapat menjalankan karakter sekularisasi yang keempat. Bahkan elite penguasa sekular membatasi campur tangan mereka dalam permasalahan Islam.
Dengan demikian, keterbatasan proyek sekularisasi menunjukkan keberlanjutan daya tahan Islam. Potensi umum daya tahan tersebut bersumber dari daya tahan internal dan karakteristik Islam itu sendiri. Secara teoritik,Islam adalah sistem agama organik yang ditandai dengan konsepsi fusi agama,negara, dan masyarakat serta tampil dalam struktur yang uniter. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pemisahan antara otoritas temporal dan spiritual, seperti gereja dan negara yang terjadi di Barat. Dalam merealisasikan Islam sebagai sistem organik, pandangan dominan dari atas secara keliru dari atas secara keliru menyimpulkan : bahwa dalam pandangan nyata sekularisme penguasa otokratis-sekular dan semua keruntuhan nyata ekspresi politik Islam yang nampak dalam negara setelah indonesia merdeka, bahwa Islam telah kehilangan vitalitas politiknya. Pandangan ini mengabaikan premis yang lain bahwa dalam Islam tidak ada struktur eklesiastikal ( kependetaan ) yang terpusat, sehingga selalu memungkinkan munculnya kreativitas lokal dan tafsir- tafsir baru. Dorongan untuk perubahan dan resistensi dalam Islam lebih sering muncul dari bawah ketimbang dari atas, dan dari pinggiran bukan dari tengah.
Dalam ketiadaan ekspresi politik Islam yang mengemuka dalam negara, sesungguhnya mejadikan pengaruh poltik dari komunitas religius lokal menjadi lebih kuat, sebab semakin institusi agama kurang diidentifikasikan dengan lembaga politik, ia semakin mampu mengembangkan artikulasi aktivitas politik yang jauh berada di luar kerangka institusi yang ada. Melengkapi sistem organik itu,Islam juga merupakan agama dengan perintah dan otoritas dogamatis yang tinggi . Karena itu setiap muslim memahami bahwa doktrin utama Islam mengandung monoteisme tegas dan empatik yang melintasi semua ranah kehidupan manusia , oleh karena itu sulit bagi Muslim yang taat untuk mentoleransi sekularisme.
Selain itu,keyakinan bahwa kebenaran Islam itu mutlak, universal, dan tak pernah berubah, merupakan prakondisi bagi otoritas dogmatis yang tinggi. Semakin tinggi otoritas dogmatis dalam sistem keagamaan, semakin kokoh kecenderungan pada budaya politik yang ideologis. Tinnginya otoritas dogmatis Islam mengarah pada orientasi ideologis politik. Konsekuensi dari struktur ninternal dan karakteristik Islam ini adalah bertahannya kecenderungan masyarkat Islam mengidealisasikan negara dan mayarakat yang berdasarkan Islam, bukan berdasarkan kriteria etika dan teritorial. Bagi kebanyakan muslim yang taat, mereka merasa lebih nyaman berada di bawah bendera yang dirumuskan secara religius dibandingkan berada di bawah ikatan-ikatan sekuler. Dengan demikian, tantangan atas sekularisasi ekspansi negara pada masyarakat dalam ranah identitas kelompok telah ada sejak lama.
Sebenarnya modifikasi istilah Islami dalam produk hukum sekular. makna agama yang paling signifikan dalam perjuangan politik Indonesia adalah aspek budaya dalam agama, yakni agama adalah sumber inspirasi budaya politik dan identitas kelompok. Saya meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik Islam saat ini yang memperjuangkan apa yang disebut negara Islam. Tak satupun partai politik yang terobsesi untuk menerapkan hukum syariat secara kaku dan statis. Penggunaan bahasa syariat dalam konteks politik Indonesia hanyalah upaya untuk menjastifikasikan
Dalam pandangan ini, klaim partai-partai politik tersebut,sebagai sebuah partai politik yang berasaskan Islam terutama dimotivasi oleh hasrat untuk mempertahankan simbol-simbol dan identitas Islam dalam ruang politik.terlepas dari konsekuwensi karakteristik Islam, bertahannya identitas politik yang dirumuskan secara religius itu, juga didukung oleh kondisi sosio historis Indonesia yang terbentang mulai dari memori kolektif yang getir atas diskriminasi politik pasca kolonial, kurangnya kehendak bersama dalam masyarakat indonesia yang plural, penyalahgunaan managemen politik yang merintangi kehidupan berkelompok di Indonesia, dan munculnya pengharapan akan sebuah identitas Islam yang baru sebagai respon terhadap kondisi modernisasi dan pascamodern.
Kemunduran Islam dari fungsinya sebagai ideologi yang konprehensif dan pengatur,menjadi hanya berfungsi sebagai spirit solidaritas kultural dalam realitas politik Indonesia, merefleksikan pengaruh signifikan dari proyek sekularisasi yang berlangsung selama dua abad terakhir di Indonesia. Akhirnya dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia, tampak memiliki sintesis tersendiri dalam bentuk sekularisme religius; yakni aspek budaya Islam tetap dapat dikembangkan, namun pemikiran sosio-politik “tradisional”-nya harus dikompromikan dengan pandangan dunia sekular.
Dengan menyatakan bahwa Common deminator postulat politik Islam Indonesia hari ini adalah sekularisme religius, tidaklah berarti bahwa fundamentalisme Islam tidak ada. Karena respon muslim terhadap tantangan sekularisme tidaklah homogen, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial, persepsi terhadap kebenaran,dan cara mendekati serta menerapkan kebenaran dalam konteks sosio-historis.
Perbedaan dalam faktor-faktor ini, membawa perbedaan dalam sikap,artikulasi, dan afiliasi politik. Hal inipun menunjukkan bahwa respon muslim terhadap tantangan modernisasi dan sekularisasi tidaklah homogen. Beberapa kelompok muslim lebih akomodatif terhadap terhadap pemikiran sekular demi memodernisasikan masyarakat Islam. Kelompok muslim lainnya lebih terobsesi pada gagasan modernisasi yang berorientasi Islam. Apapun pilihannya, keduanya mengarah pada tujuan yang sama yakni berusaha untuk merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekular. Pada umumnya arus utama muslim Indonesia sepakat bahwa tafsir dan penerapan ajaran Islam harus dikontekstualisasikan dengan relitas sosio-historis. Namun mereka tak sepakat dengan bayangan bentuk ideal masyarakat masa depan yang dijadikan sebagai dasar terhadap kontektualisasi tersebut. Pendukung gagasan “Islamisasi modernitas” cenderung untuk mengidealisasikan masyrakat neoreligius,yang membuat identitas islam mendominasi budaya politik negara dan masyarakat. Ementara pendukung “modernisasi Islam” lebih dapat menerima masyarakat sekular-pluralis,dengan Islam semata dirumuskan sebagai prinsip etika yang dapat berbagi dengan etika agama lain, bahkan dengan humanisme-sekular. Obsesi pertama berimplikasi pada kebangkitan kembali partai-partai politik yang berasaskan Islam; dan yang kedua berimplikasi pada pembentukan partai-partai politik “sekular-religius” yang berasaskan pancasila.
III.PENUTUP.
KESIMPULAN-KESIMPULAN.
Dari raian- uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

• Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan nabi Muhammad SAW,antara 610-632 Masehi, yakni manakala beliau menyampaikan Al-Qur’an,dan menguraikan makna yang dikandung serta implikasi implikasinya secara terperinci melalui tutur kata, tindakan dan kebijakan kebijakan, serta perbuatan perbuatan beliau, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunnah Nabi dalam literatur Islam. Sehubungan dengan pengertian di atas, maka Al-Qur”an dan sunnah Nabi beserta konsep konsep turunan dan ajektiva yang digunakan, bagi ummat Islam merupakan dasar dari pengertian Islam. Keduanya adalah sumber rukun Iman, praktek ritual, ajaran moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh setiap muslim. Di samping itu, Al-Qur’an dan Sunnah nabi juga adalah pedoman bagi ummat Islam dalam mengembangkan relasi sosial dan politik, serta norma-norma dan institusi hukumnya.
• Dasar pemikiran setiap wacana Islam adalah bahwa setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi tanggung jawab agamanya, dan tanggung jawab agama yang terbesar adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Ibnu Taimimiyah , Dr.Abd Karim Zaidan, dan Fazlur Rahman, sama-sama sepakat bahwa Islam memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya. Karena dengan adanya negara kita akan lebih efektif dan lebih terkontrol dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam berbagai aspek yang melingkupinya.
• Hadirnya modernisme sebagai buah dari renaissance dan revolusi industri di dunia barat, menyisakan masalah dan tantangan-tantangan baru di dunia Islam. Intraksi model baru antara Barat dan Islam, kemudian mendorong lahirnya gerakan redefenisi dan rekonstruksi pemahaman keislaman,termasuk didalamnya melakukan penelusuran tehadap kemungkinan kemungkinan Al-Qur’an dan Hadist nabi memberi legitimasi normatif- teologis, terhadap tema tema bias modernisasi tersebut, seperti: liberalisme, sekularisme, equivalenisme, demokrasi, dan lain lain, di kalangan reformis ( Pembaharu ) Islam, meskipun dalam banyak hal proses redefenisi tersebut relitasnya banyak dipengaruhi oleh metodelogi berfikir Barat.
• Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, lebih dominan dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara faktor eksternal dan perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri.

• Makna agama yang paling signifikan dalam perjuangan politik Indonesia adalah aspek budaya dalam agama, yakni agama adalah sumber inspirasi budaya politik dan identitas kelompok. Saya meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik Islam saat ini yang memperjuangkan apa yang disebut negara Islam. Tak satupun partai politik yang terobsesi untuk menerapkan hukum syariat secara kaku dan statis. Penggunaan bahasa syariat dalam konteks politik Indonesia hanyalah upaya untuk menjastifikasikan.

• Dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia, tampak memiliki sintesis tersendiri dalam bentuk sekularisme religius; yakni aspek budaya Islam tetap dapat dikembangkan, namun pemikiran sosio-politik “tradisional”-nya harus dikompromikan dengan pandangan dunia sekular.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

(http://www.islaam.com.) “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no. 10,

Abdul Majid Al Khalid,Mahmud, Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts l lmiyah, 1980

Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).

Ahmed an-Na’im,Abdullah, Islam dan negara Sekuler,Menegosiasikan Masa Depan Syriah, (Cet.I Bandung : Mizan, 2007 )

Al-Zamahsyariy, Asas al-Balagah,( Bairut:Darul Fikri ,1989).

Athiyat,Ahmad, “Ar Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996)

Dhiyauddin Umari, Akram,Madinan society at the time of the prophet,diterjemahan oleh Mun’im A.Sirry dengan judul Masyarakat Madani; Tinjauan historis kehidupan zaman nabi,( Cet.III,Jakarta : Gema Insani Press, 2000 )

E. Shinner,Larry “The Concept of Secularization in Empirical Research”, dalam William M. Newman, The Social meanings of Religion, (Chicago : Rand McNally College Publishing Company, 1974)

Effendi,Mochtar,Ensiklopedi Agama dan filsafat,Jilid II ( Cet.I,Palembang : Universitas Brawijaya,2001 .

Esposito,John,Islam and Development ; Religion and sociopolitical change, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, degan judul, Identitas Islam pada perubahan sosial politik,( Cet.I,PT Bulan Bintang : Jakarta,1989 )

Hassan Ibrahim Hassan, al-Nudhum al-Islamiyah,( Kairo :Wizara al- Ma’arif al- Umumiyah,1953 )

Hassan Ibrahim Hassan, Islamic and culture,from 632-1968, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan judul, Sejarah dan kebudayaan Islam ; 632-1968,( Cet.I, Yogyakarta : Kota kembang,1989 ) .

Ibnu Manzur,Lisan al- Arab,( Mesir: Dar al-Misriyah li al-ta’lif wa al-tarjamah,tt ).

L.Esposito,John,at.al, Identitas Islam pada perubahan sosial politik,( Cet.I, Jakarta : Bulan Bintang,1985 )
Latif, Yudi, intelegensia Muslim dan kuasa; intelegensia muslim indonesia abad ke-20 (Cet.I,Bandung : Mizan, 2005)
Latif, Yudi,Dialektika Islam ; tafsir sosiologis atas sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia,( Cet.I. Jalasutra :Yogyakarta,2007)

Ma’luf,Luis,al-Munjid fi al-lugah wa al-A’lam,(Bairut: Dar al-Masyriq,1975).

Maarif,A.Syafii,Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, ( Cet.I, Bandung : Mizan,1993 ) .

Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, diterjemahkan oleh george Allen dan Unwin dengan judul, The Theology of unity,( Kenneth Cragg : 1966 ).

Musa,Muhammad Yusuf,Nidham al-Hukmi fi al-Islam,( al-Qahirah : arul ma’arif,1964 )

Nasution, Harun,Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,jilid I ( Cet V, Bandung : Mizan,1997
Nasution,Harun, Islam Rasional gagasan dan pemikiran,( Cet.IV, Bandung : Mizan,1996) )
Nasution,Harun,Pembaharuan dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan,( Cet.X,PT.Bulan Bintang : Jakarta,1994)

Rais, Amin,Cakrawala Islam, ( Cet.VII. Bandung : Mizan,1996 )

Rais,M.Amin, Negara dan Masyarakat dalam sistem regio politik Islam, Makalah, disampaikan dalam diskusi, Konsep negara dalam Islam,( di Fakultas Hukum UII,4 Oktober 1987).

Rejai,Mustafa,Nationalism East and West, dalam Reo M.Cristenson et al,Ideologis and modern politc ( New York : Dodd,Mead &Company,1975 )

S. Waterhouse,Eric “Secularism”, Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921)

Sadjzali,Munawir,Islam dan tata negara, ajaran, sejarah, dan pemikiran,( edisi V, UI- Press: Jakarta,1993)

Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001
Unais, Mu’jam al-Wasith,( Jilid I, Kairo : Dar al-Maarif 1994 )

Shalih, Ustadz Hafizh. “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988),

Zallum, Abdul Qadim, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.




























































PEMIKIRAN ISLAM TENTANG HUBUNGAN
NEGARA DENGAN AGAMA

I PENDAHULUAN.
A.LATAR BELAKANG.
Salah satu karakteristik Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu adalah suatu sistem yang mengatur cara hidup manusia secara lengkap dan menyeluruh. Kenyataan ini tergambar dalam perkembangan hukum Islam yang yang serba mencakup,baik yang berdimensi ubudiyah maupun muamalah.Karena itu ajaran Islam dipahami sebagian besar ummat Islam sebagai sistem normatif, di mana Agama berhubungan secara integral dengan segala bidang kehidupan ummat Islam,seperti politik,ekonomi,sosial,hukum,pendidikan, dan keluarga.
Peradaban Islam yang pernah mempesonakan masyarakat dunia kurang lebih dua belas abad lamanya lantaran ajarannya yang universal, perluasannya yang sangat cepat, dan warisan budayanya yang sangat kaya, sejak abad ke-17 hingga sekarang, tampaknya mengalami tantangan yang paling berat, baik dibidang politik maupun idiologi. Hal ini diakibatkan oleh degenerasi ideologis dalam waktu yang lama dalam kehidupan ummat Islam. Degenerasi aqidah tersebut melahirkan degenerasi sosio-moral, sosio- politik, dan dekadensi etnik. Serta bermuara pada kaburnya identitas dan harga diri ummat Islam. Sistem kerajaan yang eksploitatif, tiranik dan absolut, kemudian ditolerir oleh kaum muslimin. Ketidak adilan sosial sebagai sesuatu yang paling dikutuk dalam Islam-pun menjadi suatu hal yang biasa- biasa saja dalam masyarakat muslim. Kondisi ini kemudian menjadi jalan yang lapang bagi eksisnya kolonialisme Barat di dunia Muslim.
Berangkat dari masalah keterpurukan dan keterbelakangan yang dihadapi dunia Islam itu, maka pada awal abad ke-dua puluh,dunia islam kembali menggeliat menerjemahkan dirinya yang “kumuh”,dengan tampilnya pembaharu- pembaharu Islam modern seperti Jamaluddin al Afghani,Mohammad Abduh, Hasan al Banna, mohammad Iqbal, dan lain lain, “yang menjadikan Barat sebagai stimulan”modernisasi. Tema- tema sentral yang menjadi pusat perhatian para pemikir pembaharuan Islam itu adalah; Hubungan antara iman dan ilmu atau antara keyakinan dan akal, Islam dan keadilan sosial,ekualitas antara pria dan wanita,pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat , hubungan antara agama dan negara,pembaharuan hukum,ajaran islam di bidang ekonomi,dan komitmen Islam dalam kemajuan pendidikan.
Hal yang sangat sensitif dalam tradisi intelektual islam adalah masalah hubungan agama dan negara. Persoalan ini telah melahirkan perdebatan berkepanjangan dalam tradisi intelaktual Islam di masa modern, dan mencapai puncaknya setelah negara- negara muslim berhasil melepaskan dirinya dari belenggu dan cengkeraman kolonial. Perdebatan tersebut terkait dengan urgensi negara Islam bagi tegaknya moralitas dan cita cita sosial politik Islam; yakni suatu konstruksi negara yang menjamin ideologi Islam dapat diterapkan secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini terjadi hampir di semua negara muslim, termasuk di Indonesia.
Di permukaan, pertentangan yang terjadi bersifat politis, tetapi ketika kita menyelami lebih dalam, maka kita akan menemukan bahwa pertentangan ini lebih bersifat ideologis dan budaya, dan dia hanya dapat dipahami dengan perspektif yang lebih luas. Meskipun kontak peradaban Islam dan Barat baru terjadi pada abad ke tujuh belas , dan memasuki fase yang paling gawat pada abad ke sembilan belas dan dua puluh, Dalam kurun waktu terakhir ini supremasi politik muslim benar-benar berada dalam tantangan. Di bawah lindungan imprialisme, pendidikan dan tekhnologi barat menyusupi dunia Islam, yang berakibat langsung pada munculnya gagasan- gagasan dan teknik baru yang mulai dianut oleh ummat Islam. Menyikapi hal ini, maka muncul tiga kecenderungan reaksi di kalangan Islam, yakni : [1] kelompok konservatif-Revivalis yang mencari “suaka” ke tradisi lama,[2] Kelompok modernis yang cenderung meniru barat,[3] neo Modernis (post modernis) yang cenderung melakukan harmonisasi agama dengan trend globalisasi,meskipun tidak memiliki formasi intelektual yang tegas.
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Seperti apa gagasan Islam tentang hubungan agama dan negara.
2. Bagaimana pola interaksi Islam dan negara pada masa modern.
3. Seperti apa pola interaksi ideal Islam dan negara di Indonesia ke depan.
II.PEMBAHASAN MASALAH.
A.KERANGKA TEORITIS TENTANG ISLAM DAN NEGARA.
Karena pokok masalah dalam makalah ini adalah hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat, maka sangat penting untuk mengklarifikasi makna dari istilah-istilah yang terkait dengan tema ini.
Dalam kamus bahasa Arab,ditemukan bahwa akar kata Islam dalam bahasa Arab adalah Sin-Lam-Mim. Secara umum kata ini mempunyai dua kelompok makna dasar, yaitu: (1) Selamat, bebas ,terhindar,terlepas dari,sembuh,dan meninggalkan. (2) Tunduk,pasrah,patuh,dan menerima. Kedua kelompok makna kata ini terkait satu sama lain. Salima juga berarti murni, seperti dalam ungkapan Salima lahu asya’a, artinya sesuatu itu murni miliknya, yakni bebas dari persekutuan dengan orang lain. Dalam kaitan ini , maka kata Aslama juga berarti akhlasa ad-dina lillah, yakni memurnikan kepatuhan hanya kepada Allah.
Secara terminologi, terdapat rumusan pengertian yang beragam tentang makna Islam. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dikemukakan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diperintahkannya untuk mengajarkan pokok-pokok serta peraturan peraturannya kepada nabi Muhammad SAW dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan megajak mereka untuk memeluknya. Selanjutnya, Harun Nasution mendefenisikan ,Islam adalah agama yang ajaran ajarannya diwahyukan tuhan kepada masyarakat manusia melalui Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran ajaran yang mengatur berbagai segi dari kehidupan manusia, dan sumber dari ajaran tersebut adalah al-Qur’an dan Hadist.
Dari gambaran di atas, maka umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan nabi Muhammad SAW,antara 610-632 Masehi, yakni manakala beliau menyampaikan Al-Qur’an,dan menguraikan makna yang dikandung serta implikasi implikasinya secara terperinci melalui tutur kata, tindakan dan kebijakan kebijakan, serta perbuatan perbuatan beliau, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunnah Nabi dalam literatur Islam. Sehubungan dengan pengertian di atas, maka Al-Qur”an dan sunnah Nabi beserta konsep konsep turunan dan ajektiva yang digunakan, bagi ummat Islam merupakan dasar dari pengertian Islam. Keduanya adalah sumber rukun Iman, praktek ritual, ajaran moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh setiap muslim. Di samping itu, Al-Qur’an dan Sunnah nabi juga adalah pedoman bagi ummat Islam dalam mengembangkan relasi sosial dan politik, serta norma-norma dan institusi hukumnya. Pengertian Islam yang seperti ini, diyakini dan dijadikan acuan oleh mayoritas ummat Islam dalam kehidupan sehari hari guna membimbing perkembangan spiritual dan moral mereka menuju apa yang dikehendaki tuhan untuk umat manusia di dunia ini. Dari perspektif inilah saya mencoba membingkai persoalan persoalan ini dalam kaitannya dengan institusi negara.
Istilah Syariah juga sering digunakan dalam wacana Islam hari ini, seolah-olah kata ini sinonim dengan kata Islam, yakni sebagai totalitas kewajiban keagamaan ummat Islam, baik dalam pengertian personal maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan sosial, politik, dan hukum. Namun prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang diaplikasikan dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu Islam tidak hanya Syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid. Syariah adalah koridor dalam ber-Islam, meski tidak harus menutup habis pintu pintu pengetahuan dan pengalaman manusia dalam menegakkan ajaran Islam.
B. DISKURSUS PEMIKIRAN ISLAM TENTANG DIALEKTIKA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA.
Dasar pemikiran setiap wacana Islam adalah bahwa setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi tanggung jawab agamanya, dan tanggung jawab agama yang terbesar adalah amar ma’ruf nahi mungkar . Ibnu Taimimiyah , Dr.Abd Karim Zaidan, dan Fazlur Rahman, sama-sama sepakat bahwa Islam memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya. Karena dengan adanya negara, kita akan lebih efektif dan lebih terkontrol dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam berbagai aspek yang melingkupinya.
Dari kajian yang agak cermat tentang Al-Qur’an dan karir Muhammad selama kerasulannya, sangatlah adil jika kita menyimpulkan bahwa dalam Islam harus disinari oleh wawasan moral sebagai salah satu indikator iman dalam konteks dan realitas sejarah. Sekalipun perjalanan Islam dalam berbagai periode dan di berbagai negara sering menghianati dan menodai cita cita politik Islam itu karena alasan yang dicari- cari, cita- cita itu tidak pernah lenyap dari benak para pemikir muslim sepanjang zaman, meskipun dengan ekspresi gagasan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa Islam itu bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasehat nasehat agama yang lepas begitu saja. Islam memerlukan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Di dalam pandangan Al-Qur’an,tidak secuilpun dari dimensi kehidupan manusia yang lepas dari sorotan wahyu. Dengan demikian maka pandangan yang sementara bergerak dalam ranah sejarah yang ingin memisahkan Islam dari wawasan kekuasaan, tidak memiliki landasan teoritis yang solid.
Al-Qur’an sangat banyak menyinggung tentang mesin kekuasaan, mesin kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah negara, yang juga berfungsi sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah mesin kekuasaan itu adalah perpanjangan tangan dari agama atau semata mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan-pesan moral agama. Diantara pemikir muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab petanyaan ini. Amin Rais misalnya,memandang bahwa Islam itu adalah al-Din wa al-daulah, pendapat serupa juga banyak dianut oleh pemikir-pemikir muslim modern, diantaranya seperti Doktor Muhammad Yusuf Musa. Hal ini tergambar dalam bukunya yang berjudul Nidham al-Hukmi fi al-Islam.
Tapi kuatkah tesis ini? Dalam al-Qur’an dan Sunnah, Begitu pula dari piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu. Tetapi karena Islam memerlukan media pendukung ( negara ) maka Islam dengan ajarannya yang sempurna dan komperhensif, tidak mungkin ditancapkan dalam realitas sosial dan historis, tanpa sarana tersebut. Kita gagal memahami Islam ,jika kita menempatkan Islam (al-Din ) yang berasal dari wahyu itu , sejajar dengan negara. Tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar menempatkan alat dengan risalah dalam posisi yang sama. Cara berpikir seperti ini menurut saya adalah cara berpikir tergesa gesa,yang boleh jadi dilatar belakangi oleh sikap chauvinisme dan penolakan berlebihan terhadap teori politik barat yang memisahkan gereja dan negara.
Keberatan kita yang lain terhadap teori bahwa Islam itu adalah agama dan negara, ialah bahwa Islam (al-Din) adalah sesuatu yang immutable ( Tetap ), sedangkan (negara) daulah adalah suatu yang mutable ( Berubah )sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan kata lain, bahwa dengan menempatkan negara setaraf dengan Islam, berarti kita mengagungkan negara seperti kita mengagungkan agama. Fenomena ini mengingatkan kita pada teori Hegel yang memandang negara sebagai mahluk penaka tuhan ( a God like creature ).
Bila Islam membutuhkan kekuasaan untuk membumikan ajaran-ajarannya, maka selanjutnya muncul sebuah pertanyaan bagaimana sistem kekuasaan itu dirumuskan? Diantara refleksi tauhid dalam hidup bermasyarakat, ialah terwujudnya prinsip egaliter dalam kegiatan politik. Prinsip ini baru bisa dijalankan jika teori-teori keunggulan ras,suku bangsa, dan keturunan, dinyatakan bertentangan secara mutlak dengan ajaran Islam. Implikasi langsung dari tesis ini ialah bahwa sistem dinasti yang pernah dominan dalam perjalanan sejarah Islam masa lampau yang sisa-sisanya masih kita temukan sekarang, harus ditolak dengan tegas dan dikatakan sebuah penyimpangan yang disengaja dari prinsip egaliterian yang begitu gamblang diajarkan oleh Islam.
Berbicara tentang sistem dinasti, mengharuskan kita untuk menengok apakah sistem itu berasal dari Arab pra Islam atau muncul belakangan setelah Islam bergumul dengan peradaban Persia dan Bizantium. Dari sumber sumber yang dapat kita peroleh jelas menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra Islam adalah sebuah masyarakat yang bercirikan demokrasi. Tentang ini Dr. Hassan Ibrahim Hassan dkk. Dalam karyanya al-Nudhum al-Islamiyah, menulis bahwa pemerintahan kabilah bercorak demokratis .Dalam masyarakat itu terdapat majelis perwakilan kabilah. Dalam majelis inilah dimusyawarahkan dan diputuskan masalah masalah penting, seperti deklarasi perang atau penetapan perdamaian, atau perkara perkara yang dapat memicu gerak sistem kesukuan . Dengan demikian kata Hassan, gagasan tentang Syura telah ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Dan setelah Islam datang prinsip syurah ini kemudian diambil alih dan diberi dasar dan orientasi baru. Bila pada masa pra Islam konsep Syura didasarkan pada adat istiadat ( Urf ) kesukuan sejak zaman kuno, dan diserahkan untuk mengokohkan organisasi kesukuan, maka pada masa Islam pondasinya diganti dengan iman yang bernilai universal dan diarahkan untuk mewujudkan persaudaraan antar ummat manusia. Tegasnya di tangan Islam konsep syura telah di angkat dan dijadikan suatu sistem sosio-politik sebagai manifestasi dari prinsip egaliterian yang sering diberangus oleh keserakahan monarkhi absolut.
Berangkat dari tesis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi issu-issu penting tertentu harus berbeda dengan sistem dan model demokrasi yang berkembang di negara negara non muslim. Dalam perspektif ini, maka adalah sebuah ironi bila mana sampai hari ini negeri-negeri Islam masih saja bingung dalam mencari sistem politik yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan penegakan moral Islam.
Terkait dengan kajian kita hari ini, maka saya merasa perlu mengklarifikasi bahwa Islam tidak bisa hanya dipahami sebagai ideologi semata mata, tetapi juga sebagai realitas sosial yang hidup dan terus berkembang, baik sebagai institusi politik maupun budaya dan peradaban. Tingkatan capaian peradaban ummat islam sebagai realitas sosial, menurut saya selalu merupakan hasil intraksi antara ummat islam dengan Islam yang bermakna ideologis tadi.
Dalam makalah ini saya mecoba mengulas tentang kaitan antara Islam sebagai akidah monotheistik yang holistik dengan problematika yang mengemuka dalam konstruksi negara ( sebagai institusi yang mereferensi masyarakat dengan segenap hak dan kewajiban dengan penguasaan wilayah-teritorial dan ruang publik ) sebagai lokus analisis, tanpa mengesampingkan gagasan tentang penomena islam dan negara saat ini.
Dalam menganalisis masalah ini, saya ingin mengajukan catatan yang menurut saya penting, bahwa problem perseteruan antara agama dan Negara tidak pernah muncul dalam agama agama apapun sebelum agama monotheisme. Namun sejak agama-agama monotheisme muncul, ia telah menjadi problem besar dalam Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dari situ saya melihat bahwa penyebab konflik tersebut terkandung di dalam kenyataan bahwa agama monotheis pada dasarnya tumbuh di tengah konflik melawan rezim perbudakan yang telah mencapai titik kulminatif, lalu berubah menjadi rezim represif ( meninggalkan sama sekali prinsip prinsip moral dan etika ). Dari sini, Agama monotheis telah membentuk revolusi pengalaman spiritual bagi eksisnya humanisme, sebab agama monotheismelah yang pertama kali melakukan pemisahan diri dari otoritas politik dan mereformulasi aspek kesakralan dan kespiritualan di luar koridor otoritas dan kekuasaan, yaitu dunia metafisis hegemonik yang berdiri di atas negara dan mendominasinya. Akhirnya agama tampil menjadi sebuah otoritas spiritual sejati yang independen, lepas dari otoritas politik, berselisih dengannya dan bahkan terkadang memusuhinya. Hal ini karena otoritas kaum agamawan untuk pertama kalinya terpusat pada otoritas ketuhanan yang tidak memerlukan legitimasi dari raja ataupun negara. Dan, tidak mungkin negara mampu mengendalikan atau memaksa mereka untuk tunduk dan patuh pada parameter parameternya. Sebab, agama lahir sebagai pemegang otoritas yang sejajar atau bahkan melebihi otoritas profan setelah sebelumnya ia hanya dijadikan alat oleh otoritas profan dan penguasa yang refresif.
Hasil dari perubahan ini, akan tampak pada pergantian model hubungan antara agama dan negara, dan selanjutnya dapat dibuktikan dengan melemahnya posisi negara sebagai akibat dari munculnya komunitas sosial ( Jama’ah )yang menyaingi atau bahkan melampaui negara. Jama’ah adalah konsep dan konstruksi baru yang tumbuh bersama agama yang membangun pola hubungan antar individu atas dasar prinsip persaudaraan seakidah dan menjadikan hubungan sosial tersebut sebagai manifestasi pengalaman keimanan sebagaimana ia menjadikan iman sebagai pengalaman spiritual, personal,internal, dan sekaligus sumber perekat dan chauvinisme sosial.
Itulah asal mula munculnya problem sekularisme dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dan negara. Oleh karena itu tidak mungkin merekonstruksi negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan absolut, tanpa kooptasi otoritas diatasnya kecuali dengan tiga kondisi: [1] Merombak dasar dasar kerja negara, fungsi,serta posisinya dalam masyarakat dan sistem sosial secara umum. [2] Mendekonstruksi otoritas kekuasaan baru yang di besarkan oleh agama dan menempatkan afiliasi pada jama’ah agama akan kesetiaan pada kekuatan tuhan lebih utama daripada kesetiaan pada penguasa politik dan kekuatan materi. [3] merombak keduanya sekaligus. Gagasan inilah yang kemudian berhasil dengan gemilang diaktualkan masyarakat barat dalam melakukan rekonstruksi radikal negara pada Yudaisme dan kristen yang melahirkan blunder sekularisme dan pemisahan otoritas agama ( gereja ) dengan otoritas profan di dunia barat.
Dengan membaca realitas sejarah Islam, saya kemudia berpandangan bahwa”negara dalam konsepsi Islam seperti yang kita kenal hari ini, tidak dilahirkan di tengah-tengah masyarakat muslim dari generasi Islam pertama yang muncul dari revolusi ideologis, sosial, sekaligus politis, akan tetapi sebaliknya, ia dilahirkan oleh reaksi atas konsepsi revolusioner agama Islam dengan tampilnya kembali negara dalam bentuk sasanik ( Persia ) dan Bizantium ( Romawi ), yakni monarkhi absolut Muawiyah di Damaskus, serta keberhasilannya menundukkan agama dan mengembalikan tokoh tokohnya ke profesinya masing-masing di bawah naungan negara dan kekuasaannya.
Sebagai bukti atas pandangan ini, saya ingin mengemukakan sebuah analisis historis atas peristiwa perang saudara yang dikenal dalam sejarah Arab Islam sebagai al-fitnah al-Kubra ( Kerusakan terbesar ) yang berlangsung selama lima tahun. Buah dari tragedi ini, menurut saya adalah munculnya perpecahan riil yang pertama dalam komunitas masyarakat Islam, dan lahirnya negara dalam arti pemaksaan pemaksaan penguasa tunggal dan politikus yang otoriter. Kemenangan negara atas agama ini dibarengi oleh sejumlah fenomena yang tidak mungkin disalah tafsirkan maknanya jika benar benar mengamatinya. Misalnya : [1] Penuntasan secara menyeluruh api fitnah pada generasi sahabat pertama dan naiknya generasi panglima meliter menggantikan mereka,[2] Terbentuknya kelas politik baru yang berangkat dari penghidupan kembali sistem hirarki sosial dan aristokrasi tribalisme jahiliyah ( Keluarga besar Umawiyah ) menggantikan posisi keluarga besar nabi yang memasuki babak panjang penindasan dan pemberangusan, [3] Perombakan risalah agama menjadi nota perundang undangan yang diterapkan di bawah kendali negara sesuai dengan kebutuhan politik,[4] Perombakan otoritas keagamaan dan spiritual menjadi menjadi spesialisasi intelektual yang termanifestasi dalam golongan ulama agama dan ahli fiqhi. Dengan demikian penundukan warisan nabi pada kepentingan kepentingan negara dan kebutuhan kebutuhannya, merupakan prasyarat bagi dibangunnya kembali suatu negara pada lahan kosong dengan prinsip prinsip yang baru.
Dengan demikian, untuk pertama kalinya negara baru tersebut, harus berintraksi dengan komunitas ( jama’ah ) yang memiliki spirit, kerangka berfikir, ideologis, dan kepanatikan ( chaufinisme ) yang khas. Selain itu ia juga harus mengakui independensi masyarakat, yakni ( negara ) harus menerima pembatasan otoritas pemerintahan pada bidang kekuasaanya,meskipun ia belum mengenal konsep pendefenisian cara menjalankan otoritas kekuasaan pada bidang bidang pelaksanaanya. Maka dalam rangka melanggengkan eksistensinya, negara membutuhkan legitimasi moral agama. Meskipun demikian, karena pada negara tersimpul makna penguasaan teritorial dan ruang publik, maka negara dalam hal ini memiliki power dan otoritas yang bersifat koersif ( memaksa ). Terkait dengan ini, maka Islam sebagai sebuah risalah ( Mission ), dalam pendekatan sosiologis juga mebutuhkan sarana otoritas untuk mengaktualisasikan ajaran- ajarannya, agar tetap eksis dalam memberi bingkai moral terhadap segenap kebijakan negara dalam rangka melahirkan maslahat bagi ummat manusia.
Begitulah ( Sejarah ) tumbuhnya negara Islam, sebagai produk balance antara logika jama’ah yang dibentuk agama dan logika negara yang diterapkan dengan kalkulasi- kalkulasi geo-politik dan politik. Negara Islam dilahirkan dengan proses kekaisaran yang didalamnya harus dirumuskan kembali posisi negara dan posisi agama serta perombakan konsep negara dan konsep agama. Sejarah negara negara Islam selalu berkutat di seputar keseimbangan antara kekuatan jamaah dan kekuatan negara, serta antara kesepahaman dan permusuhan sesuai dengan tahapan sejarah serta pembentukan komunitas sosial sampai pada masa modern, dan dipahami sebagai bagian dari kewajiban dalam Islam untuk menegakkannya.
Hadirnya modernisme sebagai buah dari renaissance dan revolusi industri di dunia barat, menyisakan masalah dan tantangan-tantangan baru di dunia Islam. Intraksi model baru antara Barat dan Islam, kemudian mendorong lahirnya gerakan redefenisi dan rekonstruksi pemahaman keislaman,termasuk didalamnya melakukan penelusuran tehadap kemungkinan kemungkinan Al-Qur’an dan Hadist nabi memberi legitimasi normatif- teologis, terhadap tema tema bias modernisasi tersebut, seperti: liberalisme, sekularisme, equivalenisme, demokrasi, dan lain lain, di kalangan reformis ( Pembaharu ) Islam, meskipun dalam banyak hal proses redefenisi tersebut relitasnya banyak dipengaruhi oleh metodelogi berfikir Barat.
C.LIBERALISME,SEKULARISME, DAN ‘FUNDAMENTALISME'; REALITAS HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA HARI INI.
Di Barat, modernisme, liberalisme,dan sekularisme’ berjalan seiring. Ketiga pemikiran ini menjadi solusi bagi masyarakat Barat untuk berkembang menjadi maju dan modern. Hal disebabkan karena mereka telah menderita akibat pemerintahan “kuku besi” Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan doktrin Gereja yang diyakini berasal dari Tuhan. untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi.
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.
Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.
Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present Age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur”.
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai berikut:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan), atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.
Dalam perspektif sosio-historis, sekularisme lahir di Eropah, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
[1] pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.[2] pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (world view/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, lebih dominan dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara faktor eksternal dan perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Pengaruh eksternal itu dapat ditelusuri dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988).
Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian.(Greg Barton,1999).
Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim,Nurcholish Madjid,Emha ainun Nadjib, K.H.Mustafa Bisri, Ahmad Syafi’I Maarif, Azyumardi Azra,dan lain lain, menjadi transmisi pemikiran Islam yang relatif akomodatif terhadap nilai nilai demokrasi, seperti kebebasan,partisipasi,kesejahteraan,keadilan,dan pluralisme,yang menjadi sangat npenting bagi pertumbuhan masyarakat sipil saat ini.
Pada bagian yang lain, realitas modernisasi, liberalisasi, dan sekularisasi di dunia Islam di sikapi dengan reaksi penolakan keras atas realitas tersebut. Komunitas ini kemudian dikenal dengan kelompok Fundamentalis Islam. Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993) .
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:
The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).
Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim, yaitu: [1]Orang yang membenci Barat,[2] orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara, [3] orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam, [4] orang yang ingin membina kembali peradaban Islam, [5] orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau.(ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
D.DIALEKTIKA ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA.
Tak seorangpun dapat menyangkal bahwa dalam dua abad terakhir ini, pada satu sisi Muslim Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat pesatnya modernisasi dan sekularissasi yang mengubah aspek-aspek pundamental dalam sistem religio-politiknya. Pada sisi yang lain juga merupakan suatu realitas, bahwa Islam semakin eksis dalam mengisi ruang publik masyarakat Indonesia, dan terbentuknya kembali partai-partai politik massa yang berideologi Islam. Kondisi ini melahirkan sebuah pertanyaan, apakah hal ini berarti bahwa proses sekularisasi itu hanya superfisial, dan nilai-nilai serta kesadaran religius hanya dapat di pandang sebagai bentuk institusional yang berbeda? Saya memandang bahwa kedua hal tersebut,( Sekularisasi dan Islamisasi ) dalam masyarakat dan negara Indonesia berlangsung secara simultan.
Dialektika sekularisasi dan Islamisasi dalam konstruk hubungan agama dan negara terus menjadi gambaran utama dari proses politik yang berkembang di Indonesia dalam kurun waktu sejarah yang panjang. Dan hasil akhirnya, setidaknya dalam waktu dekat ini tidak akan menjadi ‘’ini atau itu’’(Sekularisasi total atau islamisasi total). Bagi kedua kutub tersebut, memiliki arena dan senjatanya masing-masing untuk bisa bertahan. Sejauh ini , sekularisasi dapat didefisikan dalam empat karakteristik utamanya: [1]sekularisasi pemisahan masyarakat dan negara; yakni pemisahan agama dengan politik. [2] sekularisasi ekspansi masyarakat-negara;yakni, perluasan otoritas negara pada aspek aspek yang sebelumnya dikuasai oleh masyarakat atau agama dengan menciptakan ikatan ikatan institusional baru untuk dapat mengontrol agama, seperti sekularisasi hukum,pendidikan,struktur sosial dan ekonomi.[3] transvaluasi masyarakat-negara; yakni, sekularisasi budaya politik dengan maksud menjadikan nilai nilai agama tidak lagi menjadi jangkar budaya politik yang kuat posisinya,dan perlahan diambil alih oleh nilai-nilai sekuler politik nasional. Hal ini tergambar dari sekularisasi basis legitimasi dan identitas kelompok. [4] sekularisasi dominasi masyarakat-negara; yakni, pemaksaan ideologi sekular negara sebagai upaya menghancurkan basis-basis politik keagamaan atau menghapus eksistensi agama sama sekali.
Proses sekularisasi pertama dan kedua dapat diamati berjalan dengan sukses di seluruh wilayah Indonesia, sedang proses ketiga telah dan sedang berjalan meski masih jauh dari berhasil. Sedang proses keempat, tidak terjadi di Indonesia. Karakteristik pertama dan keduaa dipaksakan secara luas nuntuk berlangsung pada masysrakat Islam, karana prosesnya dapat dipaksakan berlangung oleh elite penguasa atas nama modernisasi, meskipun tanpa persetujuan massa. Karakteristik sekularisasi yang ketiga jauh lebih rumit, sebab melibatkan perubahan nilai secara luas yang tidak dapat diarahkan berlangsung secara efektif oleh elite penguasa dalam waktu yang singkat. Sementara solidaritas Islam dan pengaruh politiknya yang masih kuat, menyebabkan elite penguasa sekular tidak dapat menjalankan karakter sekularisasi yang keempat. Bahkan elite penguasa sekular membatasi campur tangan mereka dalam permasalahan Islam.
Dengan demikian, keterbatasan proyek sekularisasi menunjukkan keberlanjutan daya tahan Islam. Potensi umum daya tahan tersebut bersumber dari daya tahan internal dan karakteristik Islam itu sendiri. Secara teoritik,Islam adalah sistem agama organik yang ditandai dengan konsepsi fusi agama,negara, dan masyarakat serta tampil dalam struktur yang uniter. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pemisahan antara otoritas temporal dan spiritual, seperti gereja dan negara yang terjadi di Barat. Dalam merealisasikan Islam sebagai sistem organik, pandangan dominan dari atas secara keliru dari atas secara keliru menyimpulkan : bahwa dalam pandangan nyata sekularisme penguasa otokratis-sekular dan semua keruntuhan nyata ekspresi politik Islam yang nampak dalam negara setelah indonesia merdeka, bahwa Islam telah kehilangan vitalitas politiknya. Pandangan ini mengabaikan premis yang lain bahwa dalam Islam tidak ada struktur eklesiastikal ( kependetaan ) yang terpusat, sehingga selalu memungkinkan munculnya kreativitas lokal dan tafsir- tafsir baru. Dorongan untuk perubahan dan resistensi dalam Islam lebih sering muncul dari bawah ketimbang dari atas, dan dari pinggiran bukan dari tengah.
Dalam ketiadaan ekspresi politik Islam yang mengemuka dalam negara, sesungguhnya mejadikan pengaruh poltik dari komunitas religius lokal menjadi lebih kuat, sebab semakin institusi agama kurang diidentifikasikan dengan lembaga politik, ia semakin mampu mengembangkan artikulasi aktivitas politik yang jauh berada di luar kerangka institusi yang ada. Melengkapi sistem organik itu,Islam juga merupakan agama dengan perintah dan otoritas dogamatis yang tinggi . Karena itu setiap muslim memahami bahwa doktrin utama Islam mengandung monoteisme tegas dan empatik yang melintasi semua ranah kehidupan manusia , oleh karena itu sulit bagi Muslim yang taat untuk mentoleransi sekularisme.
Selain itu,keyakinan bahwa kebenaran Islam itu mutlak, universal, dan tak pernah berubah, merupakan prakondisi bagi otoritas dogmatis yang tinggi. Semakin tinggi otoritas dogmatis dalam sistem keagamaan, semakin kokoh kecenderungan pada budaya politik yang ideologis. Tinnginya otoritas dogmatis Islam mengarah pada orientasi ideologis politik. Konsekuensi dari struktur ninternal dan karakteristik Islam ini adalah bertahannya kecenderungan masyarkat Islam mengidealisasikan negara dan mayarakat yang berdasarkan Islam, bukan berdasarkan kriteria etika dan teritorial. Bagi kebanyakan muslim yang taat, mereka merasa lebih nyaman berada di bawah bendera yang dirumuskan secara religius dibandingkan berada di bawah ikatan-ikatan sekuler. Dengan demikian, tantangan atas sekularisasi ekspansi negara pada masyarakat dalam ranah identitas kelompok telah ada sejak lama.
Sebenarnya modifikasi istilah Islami dalam produk hukum sekular. makna agama yang paling signifikan dalam perjuangan politik Indonesia adalah aspek budaya dalam agama, yakni agama adalah sumber inspirasi budaya politik dan identitas kelompok. Saya meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik Islam saat ini yang memperjuangkan apa yang disebut negara Islam. Tak satupun partai politik yang terobsesi untuk menerapkan hukum syariat secara kaku dan statis. Penggunaan bahasa syariat dalam konteks politik Indonesia hanyalah upaya untuk menjastifikasikan
Dalam pandangan ini, klaim partai-partai politik tersebut,sebagai sebuah partai politik yang berasaskan Islam terutama dimotivasi oleh hasrat untuk mempertahankan simbol-simbol dan identitas Islam dalam ruang politik.terlepas dari konsekuwensi karakteristik Islam, bertahannya identitas politik yang dirumuskan secara religius itu, juga didukung oleh kondisi sosio historis Indonesia yang terbentang mulai dari memori kolektif yang getir atas diskriminasi politik pasca kolonial, kurangnya kehendak bersama dalam masyarakat indonesia yang plural, penyalahgunaan managemen politik yang merintangi kehidupan berkelompok di Indonesia, dan munculnya pengharapan akan sebuah identitas Islam yang baru sebagai respon terhadap kondisi modernisasi dan pascamodern.
Kemunduran Islam dari fungsinya sebagai ideologi yang konprehensif dan pengatur,menjadi hanya berfungsi sebagai spirit solidaritas kultural dalam realitas politik Indonesia, merefleksikan pengaruh signifikan dari proyek sekularisasi yang berlangsung selama dua abad terakhir di Indonesia. Akhirnya dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia, tampak memiliki sintesis tersendiri dalam bentuk sekularisme religius; yakni aspek budaya Islam tetap dapat dikembangkan, namun pemikiran sosio-politik “tradisional”-nya harus dikompromikan dengan pandangan dunia sekular.
Dengan menyatakan bahwa Common deminator postulat politik Islam Indonesia hari ini adalah sekularisme religius, tidaklah berarti bahwa fundamentalisme Islam tidak ada. Karena respon muslim terhadap tantangan sekularisme tidaklah homogen, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial, persepsi terhadap kebenaran,dan cara mendekati serta menerapkan kebenaran dalam konteks sosio-historis.
Perbedaan dalam faktor-faktor ini, membawa perbedaan dalam sikap,artikulasi, dan afiliasi politik. Hal inipun menunjukkan bahwa respon muslim terhadap tantangan modernisasi dan sekularisasi tidaklah homogen. Beberapa kelompok muslim lebih akomodatif terhadap terhadap pemikiran sekular demi memodernisasikan masyarakat Islam. Kelompok muslim lainnya lebih terobsesi pada gagasan modernisasi yang berorientasi Islam. Apapun pilihannya, keduanya mengarah pada tujuan yang sama yakni berusaha untuk merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekular. Pada umumnya arus utama muslim Indonesia sepakat bahwa tafsir dan penerapan ajaran Islam harus dikontekstualisasikan dengan relitas sosio-historis. Namun mereka tak sepakat dengan bayangan bentuk ideal masyarakat masa depan yang dijadikan sebagai dasar terhadap kontektualisasi tersebut. Pendukung gagasan “Islamisasi modernitas” cenderung untuk mengidealisasikan masyrakat neoreligius,yang membuat identitas islam mendominasi budaya politik negara dan masyarakat. Ementara pendukung “modernisasi Islam” lebih dapat menerima masyarakat sekular-pluralis,dengan Islam semata dirumuskan sebagai prinsip etika yang dapat berbagi dengan etika agama lain, bahkan dengan humanisme-sekular. Obsesi pertama berimplikasi pada kebangkitan kembali partai-partai politik yang berasaskan Islam; dan yang kedua berimplikasi pada pembentukan partai-partai politik “sekular-religius” yang berasaskan pancasila.
III.PENUTUP.
KESIMPULAN-KESIMPULAN.
Dari raian- uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

• Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan nabi Muhammad SAW,antara 610-632 Masehi, yakni manakala beliau menyampaikan Al-Qur’an,dan menguraikan makna yang dikandung serta implikasi implikasinya secara terperinci melalui tutur kata, tindakan dan kebijakan kebijakan, serta perbuatan perbuatan beliau, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunnah Nabi dalam literatur Islam. Sehubungan dengan pengertian di atas, maka Al-Qur”an dan sunnah Nabi beserta konsep konsep turunan dan ajektiva yang digunakan, bagi ummat Islam merupakan dasar dari pengertian Islam. Keduanya adalah sumber rukun Iman, praktek ritual, ajaran moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh setiap muslim. Di samping itu, Al-Qur’an dan Sunnah nabi juga adalah pedoman bagi ummat Islam dalam mengembangkan relasi sosial dan politik, serta norma-norma dan institusi hukumnya.
• Dasar pemikiran setiap wacana Islam adalah bahwa setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi tanggung jawab agamanya, dan tanggung jawab agama yang terbesar adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Ibnu Taimimiyah , Dr.Abd Karim Zaidan, dan Fazlur Rahman, sama-sama sepakat bahwa Islam memerlukan negara bagi pembumian ajaran-ajarannya. Karena dengan adanya negara kita akan lebih efektif dan lebih terkontrol dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam berbagai aspek yang melingkupinya.
• Hadirnya modernisme sebagai buah dari renaissance dan revolusi industri di dunia barat, menyisakan masalah dan tantangan-tantangan baru di dunia Islam. Intraksi model baru antara Barat dan Islam, kemudian mendorong lahirnya gerakan redefenisi dan rekonstruksi pemahaman keislaman,termasuk didalamnya melakukan penelusuran tehadap kemungkinan kemungkinan Al-Qur’an dan Hadist nabi memberi legitimasi normatif- teologis, terhadap tema tema bias modernisasi tersebut, seperti: liberalisme, sekularisme, equivalenisme, demokrasi, dan lain lain, di kalangan reformis ( Pembaharu ) Islam, meskipun dalam banyak hal proses redefenisi tersebut relitasnya banyak dipengaruhi oleh metodelogi berfikir Barat.
• Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, lebih dominan dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara faktor eksternal dan perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri.

• Makna agama yang paling signifikan dalam perjuangan politik Indonesia adalah aspek budaya dalam agama, yakni agama adalah sumber inspirasi budaya politik dan identitas kelompok. Saya meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik Islam saat ini yang memperjuangkan apa yang disebut negara Islam. Tak satupun partai politik yang terobsesi untuk menerapkan hukum syariat secara kaku dan statis. Penggunaan bahasa syariat dalam konteks politik Indonesia hanyalah upaya untuk menjastifikasikan.

• Dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia, tampak memiliki sintesis tersendiri dalam bentuk sekularisme religius; yakni aspek budaya Islam tetap dapat dikembangkan, namun pemikiran sosio-politik “tradisional”-nya harus dikompromikan dengan pandangan dunia sekular.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

(http://www.islaam.com.) “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no. 10,

Abdul Majid Al Khalid,Mahmud, Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts l lmiyah, 1980

Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).

Ahmed an-Na’im,Abdullah, Islam dan negara Sekuler,Menegosiasikan Masa Depan Syriah, (Cet.I Bandung : Mizan, 2007 )

Al-Zamahsyariy, Asas al-Balagah,( Bairut:Darul Fikri ,1989).

Athiyat,Ahmad, “Ar Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996)

Dhiyauddin Umari, Akram,Madinan society at the time of the prophet,diterjemahan oleh Mun’im A.Sirry dengan judul Masyarakat Madani; Tinjauan historis kehidupan zaman nabi,( Cet.III,Jakarta : Gema Insani Press, 2000 )

E. Shinner,Larry “The Concept of Secularization in Empirical Research”, dalam William M. Newman, The Social meanings of Religion, (Chicago : Rand McNally College Publishing Company, 1974)

Effendi,Mochtar,Ensiklopedi Agama dan filsafat,Jilid II ( Cet.I,Palembang : Universitas Brawijaya,2001 .

Esposito,John,Islam and Development ; Religion and sociopolitical change, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, degan judul, Identitas Islam pada perubahan sosial politik,( Cet.I,PT Bulan Bintang : Jakarta,1989 )

Hassan Ibrahim Hassan, al-Nudhum al-Islamiyah,( Kairo :Wizara al- Ma’arif al- Umumiyah,1953 )

Hassan Ibrahim Hassan, Islamic and culture,from 632-1968, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan judul, Sejarah dan kebudayaan Islam ; 632-1968,( Cet.I, Yogyakarta : Kota kembang,1989 ) .

Ibnu Manzur,Lisan al- Arab,( Mesir: Dar al-Misriyah li al-ta’lif wa al-tarjamah,tt ).

L.Esposito,John,at.al, Identitas Islam pada perubahan sosial politik,( Cet.I, Jakarta : Bulan Bintang,1985 )
Latif, Yudi, intelegensia Muslim dan kuasa; intelegensia muslim indonesia abad ke-20 (Cet.I,Bandung : Mizan, 2005)
Latif, Yudi,Dialektika Islam ; tafsir sosiologis atas sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia,( Cet.I. Jalasutra :Yogyakarta,2007)

Ma’luf,Luis,al-Munjid fi al-lugah wa al-A’lam,(Bairut: Dar al-Masyriq,1975).

Maarif,A.Syafii,Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, ( Cet.I, Bandung : Mizan,1993 ) .

Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, diterjemahkan oleh george Allen dan Unwin dengan judul, The Theology of unity,( Kenneth Cragg : 1966 ).

Musa,Muhammad Yusuf,Nidham al-Hukmi fi al-Islam,( al-Qahirah : arul ma’arif,1964 )

Nasution, Harun,Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,jilid I ( Cet V, Bandung : Mizan,1997
Nasution,Harun, Islam Rasional gagasan dan pemikiran,( Cet.IV, Bandung : Mizan,1996) )
Nasution,Harun,Pembaharuan dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan,( Cet.X,PT.Bulan Bintang : Jakarta,1994)

Rais, Amin,Cakrawala Islam, ( Cet.VII. Bandung : Mizan,1996 )

Rais,M.Amin, Negara dan Masyarakat dalam sistem regio politik Islam, Makalah, disampaikan dalam diskusi, Konsep negara dalam Islam,( di Fakultas Hukum UII,4 Oktober 1987).

Rejai,Mustafa,Nationalism East and West, dalam Reo M.Cristenson et al,Ideologis and modern politc ( New York : Dodd,Mead &Company,1975 )

S. Waterhouse,Eric “Secularism”, Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921)

Sadjzali,Munawir,Islam dan tata negara, ajaran, sejarah, dan pemikiran,( edisi V, UI- Press: Jakarta,1993)

Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001
Unais, Mu’jam al-Wasith,( Jilid I, Kairo : Dar al-Maarif 1994 )

Shalih, Ustadz Hafizh. “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988),

Zallum, Abdul Qadim, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.